Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
Tutur merupakan sistem panggilan atau bentuk sapaan yang ada dalam masyarakat Gayo. Melalatoa dalam Kamus Bahasa Gayo – Indonesia, mendefinisikan tutur sebagai sistem atau istilah kekerabatan (1985:406). Bertutur diartikan dengan penggunaan tutur, sistem, tata, atau istilah kekerabatan. Terminologi tutur ini merupakan leksikon yang berbeda dengan kata tutur yang terdapat dalam bahasa Indonesia, atau tutur (speech) dalam bahasa Inggris. Ketiganya memiliki istilah yang sama, dengan pengertian, muatan, dan simbol yang berbeda.
Dalam tutur tergambar cara, sikap, dan kesantunan berbahasa pengguna tutur. Melalui tutur, juga dapat diketahui, sifat, karakter seseorang, dan kesensitifan seseorang. Dengan kata lain, penggguna tutur mengetahui, mengerti, memahami, dan menghargai mitra tutur-nya secara mendalam. Dalam istilah lokal dikenal, jema si be tutur, barti jema mu agama, mu edet, dan mu peraturen. Artinya, orang yang bertutur (menggunakan tutur) berarti (yang bersangkutan) orang yang beragama, beradat, dan berperaturan (tahu resam dan peraturan terkait komunikasi dan hubungan interpersonal). Tutur menjadi ruh dari adat istiadat yang berlaku di Gayo. Tutur tidak terbatas menyentuh kajian psikis, menggambarkan norma, nilai, sosio-kultural, melainkan menggambarkan nilai-nilai personal, kolektif, filosofi, dan relijiusitas penuturnya. Lebih dari tutur, sebagai simbol sosial, dan identitas orang Gayo, akhirnya menciptakan keharmonisan sosial dalam masyarakatnya.
Namun, belakangan, tutur sudah mulai kurang dipakai. Bahkan, tutur sudah mulai ditinggalkan penuturnya. Kurangnya penggunaan tutur dalam masyarakat Gayo, secara umum disebabkan dua faktor. Pertama, faktor internal, yaitu pengguna tutur yang bersangkutan yaitu masyarakat Gayo sendiri. Masyarakat Gayo kurang menyadari nilai-nilai filosofis, moral, religi, dan kekayaan kandungan tutur. Bahkan, secara umum, masyarakat ini kurang menghargai budaya yang terwaris pada mereka, permisif, inferior, dan apatis terhadap budayanya sendiri. Dalam tautan tersebut, tutur tidak diajarkan di dunia pendidikan formal, mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Begitu juga secara informal (dalam keluarga). Pengguna tutur juga enggan mempelajari tutur. Konsekuensinya, tutur jarang digunakan secara luas dalam kehidupan sehari-hari. Pada akhirnya, lingkungan bertutur (semacam model bertutur) tidak akan tercipta dengan baik antar individu, dalam keluarga, lingkungan ketetanggan, maupun dalam masyarakat. Lebih dari itu, tutur tidak dilestarikan, misalnya dalam bentuk pengkajian, penelitian, pensosialisasian dan pendokumentasian.
Kedua, faktor eksternal, yaitu pengaruh yang berasal dari luar masyarakat ini. Pengaruh kedua ini dirasakan berpengaruh besar terhadap lingkungan, atau ekologi sosial bertutur. Terlebih lagi, masyarakat tempatan bersifat terbuka, toleran, dinamis dan akomodatif terhadap perubahan. Dengan begitu, pengaruh tadi dengan cepat masuk dalam kehidupan sosial masyarakat ini. Misalnya saja, penggunaan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dipandang lebih berprestise, komunikatif, dan memiliki nilai ekonomis yang lebih. Sistem panggilan yang ada dalam bahasa ini mengalahkan sistem tutur yang ada.
Selanjutnya, interaksi budaya, pengaruh ini cukup mempengaruhi penggunaan tutur dalam masyarakat ini. Terlebih lagi, lingkungan ekologis bahasa Gayo didiami lebih dari delapan etnik, yaitu Aceh, Jawa, Cina, Padang, Toba, Karo, Mandailing, Cina, Melayu, Sunda, dan lain-lain. Salah satunya, terjadinya perwakinan silang, dan komunikasi budaya. Terlebih lagi, pihak laki-laki bukan orang Gayo, maka penggunaan, dan pemertahanan tutur tadi semakin kecil. Begitu juga dengan komunikasi budaya, berujung pada kompetisi budaya, salah satunya adalah penggunaan tutur dimaksud. Akhirnya, evolusi ekologis bertutur , menjadikan tutur yang ada pada masyarakat tempatan kurang dipakai. Ditambah lagi, kurangnya kesadaran masyarakatnya sendiri.
Pengaruh lain yang dominan adalah media, baik media cetak maupun elektronik. Salah satu contoh yang paling nyata adalah pengaruh televisi. Televisi berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat Gayo, tak terkecuali dalam hal penggunaan tutur. Misalnya saja, anak-anak, atau pelaku tutur tidak lagi menyapa orang tuanya dengan sapaan ama (bapak) atau ine (ibu). Untuk keluarga yang lebih besar, awan (kakek) dan anan (nenek) katakanlah. Akan tetapi, mereka (anak-anak tadi), menggunakan bentuk sapaan persona bahasa Indonesia seperti bapak, papa, mamak, bunda, mama, kakek dan nenek. Begitu juga halnya dengan pengaruh bahasa prokem yang kerap tayang di televisi; lu, gua, dan lain-lain, turut memengaruhi anak muda di tanoh Gayo, khususnya di Takengon (meski pengaruhnya masih kecil).
Terakhir, lingkungan, kurangnya penggunaan tutur tadi, baik secara personal, dalam keluarga, lingkungan ketetanggaan, masyarakat, dalam dunia pendidikan, maupun dalam berbagai tindak bertutur, menjadikan lingkungan bertutur tidak terbentuk (ekologi bertutur). Akibatnya, tidak adanya model bertutur yang ideal yang dapat dijadikan contoh, yaitu acuan pembelajaran, pengajaran, dan pemeraktekkan tutur. Dengan begitu, terlebih lagi anak-anak, akan semakin kurang melihat (dalam bentuk bacaan), memperhatikan, mendengar, mengingat, dan menerapkan tutur tersebut dalam pergaulan mereka sehari-hari (al-Gayoni, 2009: 277-280). Kalau tutur tidak lagi terekam dalam kognisi penggunanya, tambah lagi tidak terujuknya tutur tadi dalam penggunanya, maka pengaruh hilangnya tutur ini semakin besar. Dengan begitu, tutur yang berfungsi sebagai simbol sosial, dan merefleksikan identitas ke-Gayo-an, menjadikan kandungan budaya yang melekat pada tutur juga hilang.
*Penulis buku “Bertutur di Tanoh Gayo,” & Mahasiswa Pascasarjana Linguistik, Konsentrasi Ekolinguistik (Ekologi Bahasa) Universitas Sumatera Utara (USU)
Sumber: www.gayolinge.com (diakses tanggal 8 Desember 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar