Kamis, 17 Desember 2009

Menyelamatkan Bahasa-Bahasa Daerah di Aceh

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*


Bahasa tidak sebatas alat komunikasi. Lebih dari itu, bahasa mengandung visi budaya; merekam, memelihara, dan mewariskan konsep-konsep kolektif, nilai-nilai historis, relijius, filosofi, sosio-budaya, dan ekologis dari masyarakat tempatan. Seperti halnya mahluk hidup, bahasa juga hidup, berkembang, dan memungkinkan untuk mati. Hal ini, bisa didekati, salah satunya melalui ekolinguistik, kajian interdisipliner dalam linguistik, yang melihat tautan antara bahasa dan lingkungannya. Sebaliknya, perubahan lingkungan (ekosistem) terekam dengan jelas, terlihat dan tergambar dalam bahasa.

Salah satu penyebab menjadikan bahasa tidak lagi tertutur, terpelihara, dan terwaris, adalah tidaknya adanya tempat bahasa itu untuk hidup. Lingkungan bahasa berubah, yang mengakibatkan hilangnya register (istilah) yang berhubungan dengan ragam tertentu. Misalnya, bentuk rumah di Aceh, yang dulunya berbentuk panggung, kini sudah menyatu dengan tanah. Otomatis, register yang berhubungan dengan rumah panggung tadi hilang, dan tidak lagi dikenal generasi penutur yang lebih muda. Dari aspek sosiologis, pengaruh tadi semakin besar, yang memengaruhi sikap guyub tutur terhadap bahasanya, sebagai bagian dari ekosistem secara keseluruhan (komunitas tutur). Interaksi budaya, pluralitas etnik, dan heterogenitas budaya berpengaruh kuat terhadap pola pikir, sikap, dan pola tindak penutur bahasa. Misalnya saja, sikap SMU negeri di Banda Aceh tidak lagi setuju dengan pemakaian bahasa Aceh antarsiswa yang sama-sama orang Aceh. Alasannya, pemakaian bahasa Aceh dianggap kuno, bahasa Aceh kurang komunikatif, dan bahasa Aceh tidak diperlukan di sekolah (Taib et all, 2004 dalam Isda Pramuniati, 2009)

Begitu juga di Takengon, penelitian terbaru menunjukkan (al-Gayoni, 2009), bahasa Gayo dimungkinkan punah sekirannya sikap berbahasa penututur bahasa ini tidak berubah. Penutur bahasa Gayo kurang sadar, tidak setia, dan tidak lagi menuturkan bahasanya, terutama di empat kecamatan di Takengon, yaitu kecamatan Bebesen, kecamatan Kebayakan, kecamatan Lut Tawar, dan kecamatan Pegasing. Kurangnya dipakainya bahasa ini juga akibat pindahnya penuturnya ke daerah lain, yang jarang melakukan kontak satu sama lain. Disamping itu, penggunaan bahasa Indonesia kian meluas dalam ranah kehidupan sosial di Takengon. Tidak sebatas dalam keluarga, lingkungan ketetanggaan, masyarakat, bahkan telah menembus kampung-kampung. Kemudian, transmisi budaya, termasuk transmisi bahasa kurang berjalan dengan baik dari generasi tua (1920-1960) ke generasi muda (1970-sekarang). Akibatnya, generasi yang muda tidak lagi mengenal konsep budaya tempatan.

Ditambah lagi, terbatasnya rujukan tertulis, kurangnya penulis, dan tidak adanya budaya/lingkungan menulis. Peristiwa masa lalu hanya dikuatkan melalui sastra lisan, yang ada sepuluh di Gayo (salah satunya didong). Yang lebih penting, dan memiliki peran penting terhadap penyelamat bahasa Gayo, adalah tidak adanya politik (language politic), kebijakan (language policy), dan perencanaan bahasa Gayo (language planning) dari Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, yaitu dengan pengajaran, dan pembelajaran bahasa Gayo mulai dari play group sampai pendidikan tinggi. Kalau pun ada, masih sangat terbatas, dengan kurikulum, dan tenaga pendidikan yang cenderung “dipaksakan.”

Pluralitas etnik, interaksi, dan heterogenitas budaya sangat memengaruhi penutur bahasa-bahasa daerah di Gayo, dan Aceh umumnya. Dengan begitu, diperlukan bahasa kedua sebagai bahasa pengantar, yaitu bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sangat mendominasi dalam berbagai peristiwa tutur yang ada. Bahasa Indonesia turut pula “membunuh” bahasa daerah terlebih-lebih bahasa-bahasa minor di Aceh. Bahasa daerah tidak lagi mendapat tempat untuk bertahan, terpakai, serta terwaris. Telah pula tergusur oleh pemakaian bahasa yang lebih berprestise, dan memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi. Tidak adanya tempat bahasa untuk hidup itu, berdasarkan perspektif ekolinguistik dikarenakan perubahan ekosistem, mobilitas penduduk, kebijakan yang tidak ramah terhadap bahasa, serta budaya umumnya, persaingan bahasa, dan lain-lain.

Disamping itu, dari sisi jumlah penutur, bahasa Gayo dituturkan tidak lebih dari 500 ribu penutur (perkiraan penulis), sementara bahasa Aceh lebih dari 1 juta. Tentu, jumlah penutur bahasa-bahasa minor lainnya, seperti Alas, Tamiang, Simelue, Anak Jameuk, Kluet dan Singkil lebih kecil dari bahasa Gayo. Dari sisi jumlah penutur, bahasa Aceh lebih diuntungkan dalam hal ini, berpenutur lebih besar. Namun, tidak ada jaminan, besarnya penutur bahasa akan menjadikan bahasanya bertahan. Kebertahanan suatu bahasa berada pada penutur bahasa bersangkutan, untuk senantiasa memakai bahasanya dalam kehidupan yang lebih luas.

Melihat gambaran penelitian di Takengon, tanoh Gayo tersebut, perlu upaya yang lebih serius terhadap penyelamatan bahasa-bahasa daerah di Aceh dari Pemerintah Aceh, dan Pemerintah Kabupaten terutama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan sebagai leading sector, terlebih lagi, bagi bahasa-bahasa minor yang sudah sudah diambang kritis (endangered language), termasuk bahasa Gayo di dalamnnya. Upaya tersebut dilakukan, sebagai prioritas awal; dengan pendokumentasian tertulis bahasa, dan apa pun terkait dengan etnik tersebut, selain menggugah kesadaran akan pentingnya pemakaian, dan memertahankan bahasa daerah. Pemertahanan bahasa daerah ini penting, karena bahasa daerah merupakan identitas, merekam kearifan-kearifan lokal, konsep-konsep kolektif, nilai-nilai historis, relijius, filosofi, sosio-budaya, dan ekologis dari masyarakat tempatan.


*Mahasiswa Pascasarajana Linguistik Konsentrasi Ekolinguistik Universitas Sumatera Utara (USU)

Sumber: www.gayolinge.com (5 Oktober 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar