Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni
[Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Konsentrasi Ekolinguistik USU]
| Jum`at, 02 April 2010
Alih campur bahasa merupakan hal yang lazim dalam masyarakat yang memakai dua (dwi) bahasa dan banyak (multi) bahasa. Dalam perbendaharaan lain, istilah ini dikenal dengan alih kode (code switching) dan campur kode (code mixing).
Situasi kedwi dan kemultibahasaan ‘ekologi bahasa’ yang demikian kemudian menghadirkan kontak bahasa. Tak sebatas kontak bahasa (language contact), kontak antaretnik (ethnic contact) bahkan kontak budaya (culture contact) pun berlangsung. Alih kode merupakan peristiwa perubahan berbahasa karena tuntutan situasi.
Misalnya, dari bahasa satu ke bahasa lain dikarenakan hadirnya penutur yang kurang (tidak) mengerti bahasa yang dituturkan. Perubahan ragam santai menjadi ragam resmi dalam perkuliahan yang diselingi dengan joke-joke ringan katakanlah. Sementara itu, campur kode adalah masuknya serpihan kata atau frasa dari bahasa satu ke bahasa lainnya. Sebagai akibatnya, terjadi percampuran saat berbahasa dan boleh juga dalam sebuah wacana (discourse). Saat tuturan berlangsung, secara tidak sadar, salah satu penutur mencampur tuturannya dengan kata atau frasa dari bahasa lain, seperti bek kemel-kemel win ‘jangan malu-malu win.’ Kalimat ini menunjukkan code mixing yaitu dengan munculnya kata pengulangan kemel ‘malu’ (bahasa Gayo) dalam kalimat bahasa Aceh di atas. Kata ‘win’ sendiri merupakan bentuk sapaan atau istilah kekerabatan (tutur) untuk memanggil anak laki-laki dalam bahasa Gayo (bagi orang Gayo)
Hoffman (1991:116) menyebut tujuh alasan bagi penutur dwi bahasa untuk bercampur dan beralih kode atau bahasa, adalah untuk (1) membicarakan topik tertentu; (2) mengutip (pernyataan) penutur lain; (3) simpatik terhadap sesuatu; (4) pengisi atau penghubung kalimat; (5) pengulangan yang digunakan untuk klarifikasi; (6) mengklarifikasi isi tuturan bagi interlocutor; dan (7) menyatakan identitas kelompok. Variabel lain yang menjadikan terjadi campur dan alih bahasa, yaitu topik percakapan, partisipan, setting dan keefektifan bahasa (While Hamers dan Blanc, 1987:148). Fishman menegaskan bahwa kondisi tersebut erat hubungannya dengan penutur (siapa), bahasa yang dipakai, lawan tutur, waktu dan tujuan tuturan.
Penelitian Terkait
Satu diantaranya penelitian terkait topik di atas adalah penelitian terhadap 57 mahasiswa Gayo di Universitas Sumatera Utara (USU) pada tahun 2006. Penelitian ini lebih melihat besaran alih dan campur kode dalam rapat organisasi, pertemuan informal di kampus dan di luar kampus. Dan, melihat besaran campur dan alih kode saat penutur non-Gayo ikut serta dalam pertemuan informal di kampus dan di luar kampus.
Dari penelitian tersebut ditemukan, bahwa dalam pertemuan formal (rapat organisasi kemahasiswaan), mereka (mahasiswa Gayo) menggunakan bahasa Gayo 22.8%, bahasa Indonesia 12.27%, sementara 64.9% menggunakan bahasa campuran (Gayo-Indonesia). Dalam pertemuan informal sesama mahasiswa Gayo di kampus, bahasa Gayo dipakai sebanyak 38.58%, 17.53% bahasa Indonesia, dan 43.84 % bahasa campuran.
Bila terdapat penutur yang bukan orang Gayo, dipakai bahasa Gayo sebesar 5.25%, bahasa Indonesia 73.67%, dan 21.04% memakai bahasa campuran. Selanjutnya, bila berlangsung pertemuan di luar kampus, yang menggunakan bahasa Gayo sebesar 56.12%, bahasa Indonesia 12.26%, dan bahasa campuran 31.56%. Sementara itu, bila terdapat penutur yang bukan orang Gayo, maka 10.51% akan berbahasa Gayo, 70.16% bahasa Indonesia, dan 19.28% memakai bahasa campuran (al-Gayoni, 2006: 27-40).
Penelitian tersebut menunjukkan toleransi yang tinggi dari penutur bahasa Gayo kepada penutur non-Gayo dengan terjadinya peralihan ke bahasa Indonesia. Hal yang sama terjadi pada kasus campur kode. Campur kode biasa berlangsung dalam keseharian komunikasi baik di kampus dan di luar kampus, serta dalam rapat-rapat formal organisasi di Ikatan Mahasiswa Takengon-Bener Meriah (IMTA)-Sumut. Hal tersebut bertujuan untuk menciptakan keakraban dan adaptasi sosial antarpenutur di pelbagai tempat dan situasi tersebut. Mahasiswa dari tanoh Gayo di USU sendiri tidak sebatas orang Gayo tetapi terdiri atas mahasiswa non-Gayo. Secara keseluruhan, mereka berjumlah sekitar 120 mahasiswa. Dan umumnya, peralihan itu terjadi dari situasi formal ke informal dan sebaliknya.
Penyebab terjadinya alih dan campur kode pada mahasiswa Gayo di USU tersebut lebih memperhatikan soal penutur (siapa), bahasa yang dipakai, lawan tutur, waktu dan tujuan tuturan sebagaimana pendapat Fishman di atas. Disamping itu, terkait pemakaian bahasa Gayo antarmahasiswa Gayo di USU dan seputar Padang Bulan memperlihatkan bahwa mereka setia berbahasa Gayo. Persoalan identitas menguatkan pemakaian bahasa Gayo.
Dengan demikian, bahasa Gayo dapat membedakan mereka dengan mahasiswa dan etnik lainnya. Selain itu, kebanggaan, penguatan keakraban dan solidaritas sosial turut mendorong pemakaian bahasa Gayo. Bahasa Gayo menjadi simbol sosio-kultural di perantauan. Sebagai tambahan, kebanggaan berbahasa Gayo ini umumnya terjadi di luar Aceh.
Mereka bangga berbahasa Gayo serta identitas keetnikannya. Kondisi tersebut berbeda dengan situasi di tanoh Gayo dan pelbagai titik di Aceh khususnya di Banda Aceh. Umumnya, penutur bahasa Gayo di Aceh lebih berbahasa Indonesia ketimbang bahasa ibunya sendiri. Mereka malu dan gengsi berbahasa Gayo ‘kemel’. Karena, bahasa Indonesia dianggap lebih komunikatif dan berprestise dari bahasa Gayo. Dan, ada kecenderungan khususnya di seputar kota Takengen bahwa bahasa Gayo mulai ditinggalkan penuturnya.
Demian halnya fenomena campur dan alih kode di tanoh Gayo terutama di Takengen. Dari amatan yang dilakukan, secara sadar dan tak sadar, penutur bahasa Gayo di Takengen kerap mencampur tuturannya dengan bahasa Indonesia. Selanjutnya, dengan bahasa Inggris dan istilah-istilah atau serapan kata dari bahasa Arab.
Penyebab pertama karena bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar antaretnik di Takengen. Campur kode dengan bahasa Inggris memiliki prestise lebih. Dan, munculnya campuran tuturan bahasa Arab tidak terlepas dari latar sosio-historis-relijius yang melekat pada daerah ini dan Aceh sebagai daerah syariat Islam. Selain itu, masih ada campuran-campuran bahasa-bahasa daerah lainnya. Namun, masih terbatas dengan situasi tuturan tertentu.
Sumber http://www.theglobejournal.com/kategori/seni-budaya/campur-alih-bahasa--gayo.php (diakses 3April 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar