Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
Dewasa ini, di Takengen, dataran tinggi tanoh Gayo, Nanggroe Aceh Darussalam, lagi gencar-gencarnya menyuarakan penyelamatan Lut Tawar dari kerusakan. Lut Tawar, yang lebih dikenal Danau Laut Tawar merupakan danau kebanggaan masyarakat Aceh. Fungsi danau ini tidak sebatas untuk memenuhi kebutuhan estetis-religius alamiah bagi masyarakat tempatan. Selain itu, danau ini menjadi pelengkap keindahan kota Takengen. Lebih dari itu, selain menyanggga kebutuhan air bagi masyarakat Aceh Tengah, dan Bener Meriah, danau ini juga melengkapi kebutuhan air bagi masyarakat Kabupaten Biren, Kabupaten Lhokseumawe, dan Kabupaten Aceh Utara melalui aliran wih ni Gayo, sungai yang berhilir di Pesangan, Kabupaten Biren.
Tanggal 21-22 November yang lalu, berbagai elemen kepemudaan menggelar Workshop Lut Tawar yang mencoba mengidentifikasi pelbagai persoalan, sekaligus langkah ril penyelamatan melalui Forum Penyelamat Lut Tawar. Penyelenggaraan kegiatan tersebut merupakan buah kesadaran kolektif pemuda terhadap kelangsungan, dan keterwarisan ekosistem dataran tinggi tanoh Gayo, Takengen, terlebih lagi Lut Tawar. Kegiatan ini memberikan efek yang lebih besar terkait kesadaran kolektif yang lebih besar dengan tindakan ril. Setelah workshop tersebut, pelajar Aceh Tengah melalui SMA Negeri 1 Takengen memprakarsai pembentukan Forum Pemerhati Muda Lingkungan dengan mengkampayekan hidup sehat&ramah lingkungan dengan program bike to school (bersepeda ke sekolah). Langkah tersebut diikuti pula dengan sekolah lainnya di Takengen, dengan pembuatan eco club (kelompok pemerhati lingkungan) di masing-masing sekolah.
Lantas, bagaimana sebetulnya konsep sosio-ekologis masyarakat Gayo yang bertautan dengan pemeliharaan ekosistem? Konsep sosio-ekologis tersebut bisa saja terekam melalui sastra lisan yang dimiliki masyarakat ini dengan pelbagai bentuk, isi, dan fungsinya terhadap pemeliharaan, dan kelangsungan lingkungan. Biasanya gambaran tersebut tergambar dengan jelas dalam perbendaharaan kosakata yang ada dalam bahasa masyarakat Gayo. Dengan kata lain, berada dalam tataran leksikal bahasa Gayo. Kosakata tersebut mengandung pelbagai konsep, muatan, dan fungsi soal pemeliharaan, dan penyelamatan ekosistem. Singkatnya, jiwa masyarakat tempatan terwataki dalam perbendaharan kata-kata yang ada dalam bahasa yang mereka pakai, yaitu bahasa Gayo.
Menurut M. Jusin Saleh, Sekretaris Majelis Adat Aceh Nenggeri Gayo (MAANGo), berkenaan dengan pemeliharaan danau, menyebutkan, bahwa dulunya, masyarakat Gayo dalam membuka perkampungan baru, diharuskan jauh dari danau. Hal tersebut bisa di lihat dari kampung-kampung tua di seputar danau. Salah satunya adalah kampung Bintang, yang letaknya agak jauh dari danau. Konsekuensinya, Lut Tawar tidak akan tercemari dengan sampah rumah tangga, dan bentuk pencemaran lain yang berakibat pada sendimentasi, dan ketidakseimbangan danau. Konsep yang pertama berlaku pula dalam pembukaan lahan baru untuk perkebunan. Sebagai akibatnya, danau tidak akan tercemari pupuk organik, pestisida, dan bahan-bahan yang dapat membahayakan kelangsungan biota kedanauan lainnya, baik secara ragawi, maupun secara sosial. Selanjutnya, bertalian dengan hutan, sebelumnya, masyarakat Gayo biasa membudidayakan penanaman ‘jedem’ (bahasa Gayo), salah satu tumbuhan yang ditanam di kaki gunung seputar danau. Bagian daunnya yang tebal, dan tajam tidak memungkinkan hewan liar masuk ke lahan perkebunan penduduk. Tumbuhan ini juga menyerap banyak air, sehingga bila terjadi kebakaran, apinya tidak akan sampai ke lahan perkebunan penduduk, dan gunung-gunung yang dipenuhi pinus mercusi. Sayangnya, ketiga hal di atas tidak lagi ditumbuh-kemangkan, dan diberdayakan di Takengen.
Salah satu penyebab akumulasi kerusakan danau ini (tambah ekosistem Takengen umumnya), adalah kurang diberinya ruang bagi pemerintahan sistem tradisional yang ada di Gayo, Takengon, terlebih-lebih di seputar danau untuk hidup. Lembaga tradisional dimaksud adalah pemerintahan Sarak Opat, tambah bagian-bagian terkait persoalan di atas, khususnya pawang, kejurun belang, pengulu uten, pengulu uwer, pawang lut, dan pengulu rerak (al-Gayoni, www.gayolinge.com, 11 November 2009). Sistem keadatan melalui pemerintahan Sarak Opat yang menjadi bagian sistem sosial kemasyarakatan orang Gayo tersebut tidak lagi berjalan. Hanya sebatas simbol, dan pelengkap yang kaku. Akibatnya, lembaga keadatan tidak lagi bermarwah, dan berwibawa. Begitu juga dengan tanggung jawab moral secara personal, lembaga keadatan, dan kolektif prihal pemeliharaan lingkungan sekitar tidak lagi berjalan dengan baik.
Ketakseimbangan ekosistem tersebut tidak sebatas fisik (biotik) seperti paparan di atas, tetapi juga non-fisik (abiotik), khususnya di tataran sosial. Penyusutan sosial-ekologis terjadi di masyarakat seputar danau. Hal tersebut terjadi pula pada masyarakat Takengen, dan umumnya tanoh Gayo. Hal tersebut ditandai dengan perubahan-perubahan norma, nilai, dan budaya masyarakat seputar danau, yang salah satunya ada dalam bahasa. Dalam sudut pandang, ekolinguistik atau ekologi bahasa, lingkungan berbahasa masyarakat penutur dengan pemakaian bahasa Gayo telah banyak berubah. Perubahan tersebut erat kaitannya dengan perubahan sosio-ekologis tadi. Hubungan tersebut saling mempengaruhi satu sama lain, baik dari perspektif bahasa, maupun dari perspektif lingkungannya. Banyak leksikon yang tidak dikenal lagi, dan terekam dalam ingatan pentuturnya, terlebih-lebih penutur yang lebih muda (generasi muda). Sementara itu, seperti kata Einar Haugen, ekologi bahasa ditentukan melalui pembelajaran, penggunaan, dan peng-alihan bahasa tersebut. Misalnya, sebelumnya, penamaan kampung di seputar danau sebanyak 128 kampung (Saleh, 2009). Namun, saat ini masyarakat Gayo, khususnya generasi muda tidak lagi mengenal nama-nama tempat tersebut, karena tidak berjalannya alih bahasa, dan budaya seperti yang disyarakatkan Haugen dalam kajian Ekolinguistik.
Boleh jadi, masih banyak lagi konsep-konsep ekologis dalam pemeliharaan lingkungan dalam masyarakat Gayo. Kekayaan konsep tersebut, seperti dijelaskan di atas, terekam dan tergambar dalam bahasa melalui kosakata yang ada dalam bahasa Gayo. Dikarenakan, gambaran fisik, dan sosial penutur suatu bahasa ada dalam kosakatanya, seperti yang dijelaskan Edward Sapir. Karenanya, ke depan, perlu dikaji-ulang persoalan pemeliharaan, dan penyelamatan lingkungan yang ada dalam bahasa, dan budaya Gayo. Pengkajian tersebut perlu dilakukan, dalam mentransmisikan dan pemberdayaan konsep-konsep sosio-ekologis kepada generasi muda, mengingat pentingnya pemeliharaan, dan pewarisan lingkungan yang ada kepada generasi mendatang.
*Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Universitas Sumatera Utara (USU) Konsentrasi Ekolinguistik
Sumber : http://www.gayolinge.com/detail/Opini/News/328-Konsep_Sosio_Ekologis_Masyarakat_Gayo__dalam_Pemeliharaan_Ekosistem (Diakses tanggal 24 Desember 2009)
Jumat, 25 Desember 2009
Kamis, 17 Desember 2009
Menyelamatkan Bahasa-Bahasa Daerah di Aceh
Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
Bahasa tidak sebatas alat komunikasi. Lebih dari itu, bahasa mengandung visi budaya; merekam, memelihara, dan mewariskan konsep-konsep kolektif, nilai-nilai historis, relijius, filosofi, sosio-budaya, dan ekologis dari masyarakat tempatan. Seperti halnya mahluk hidup, bahasa juga hidup, berkembang, dan memungkinkan untuk mati. Hal ini, bisa didekati, salah satunya melalui ekolinguistik, kajian interdisipliner dalam linguistik, yang melihat tautan antara bahasa dan lingkungannya. Sebaliknya, perubahan lingkungan (ekosistem) terekam dengan jelas, terlihat dan tergambar dalam bahasa.
Salah satu penyebab menjadikan bahasa tidak lagi tertutur, terpelihara, dan terwaris, adalah tidaknya adanya tempat bahasa itu untuk hidup. Lingkungan bahasa berubah, yang mengakibatkan hilangnya register (istilah) yang berhubungan dengan ragam tertentu. Misalnya, bentuk rumah di Aceh, yang dulunya berbentuk panggung, kini sudah menyatu dengan tanah. Otomatis, register yang berhubungan dengan rumah panggung tadi hilang, dan tidak lagi dikenal generasi penutur yang lebih muda. Dari aspek sosiologis, pengaruh tadi semakin besar, yang memengaruhi sikap guyub tutur terhadap bahasanya, sebagai bagian dari ekosistem secara keseluruhan (komunitas tutur). Interaksi budaya, pluralitas etnik, dan heterogenitas budaya berpengaruh kuat terhadap pola pikir, sikap, dan pola tindak penutur bahasa. Misalnya saja, sikap SMU negeri di Banda Aceh tidak lagi setuju dengan pemakaian bahasa Aceh antarsiswa yang sama-sama orang Aceh. Alasannya, pemakaian bahasa Aceh dianggap kuno, bahasa Aceh kurang komunikatif, dan bahasa Aceh tidak diperlukan di sekolah (Taib et all, 2004 dalam Isda Pramuniati, 2009)
Begitu juga di Takengon, penelitian terbaru menunjukkan (al-Gayoni, 2009), bahasa Gayo dimungkinkan punah sekirannya sikap berbahasa penututur bahasa ini tidak berubah. Penutur bahasa Gayo kurang sadar, tidak setia, dan tidak lagi menuturkan bahasanya, terutama di empat kecamatan di Takengon, yaitu kecamatan Bebesen, kecamatan Kebayakan, kecamatan Lut Tawar, dan kecamatan Pegasing. Kurangnya dipakainya bahasa ini juga akibat pindahnya penuturnya ke daerah lain, yang jarang melakukan kontak satu sama lain. Disamping itu, penggunaan bahasa Indonesia kian meluas dalam ranah kehidupan sosial di Takengon. Tidak sebatas dalam keluarga, lingkungan ketetanggaan, masyarakat, bahkan telah menembus kampung-kampung. Kemudian, transmisi budaya, termasuk transmisi bahasa kurang berjalan dengan baik dari generasi tua (1920-1960) ke generasi muda (1970-sekarang). Akibatnya, generasi yang muda tidak lagi mengenal konsep budaya tempatan.
Ditambah lagi, terbatasnya rujukan tertulis, kurangnya penulis, dan tidak adanya budaya/lingkungan menulis. Peristiwa masa lalu hanya dikuatkan melalui sastra lisan, yang ada sepuluh di Gayo (salah satunya didong). Yang lebih penting, dan memiliki peran penting terhadap penyelamat bahasa Gayo, adalah tidak adanya politik (language politic), kebijakan (language policy), dan perencanaan bahasa Gayo (language planning) dari Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, yaitu dengan pengajaran, dan pembelajaran bahasa Gayo mulai dari play group sampai pendidikan tinggi. Kalau pun ada, masih sangat terbatas, dengan kurikulum, dan tenaga pendidikan yang cenderung “dipaksakan.”
Pluralitas etnik, interaksi, dan heterogenitas budaya sangat memengaruhi penutur bahasa-bahasa daerah di Gayo, dan Aceh umumnya. Dengan begitu, diperlukan bahasa kedua sebagai bahasa pengantar, yaitu bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sangat mendominasi dalam berbagai peristiwa tutur yang ada. Bahasa Indonesia turut pula “membunuh” bahasa daerah terlebih-lebih bahasa-bahasa minor di Aceh. Bahasa daerah tidak lagi mendapat tempat untuk bertahan, terpakai, serta terwaris. Telah pula tergusur oleh pemakaian bahasa yang lebih berprestise, dan memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi. Tidak adanya tempat bahasa untuk hidup itu, berdasarkan perspektif ekolinguistik dikarenakan perubahan ekosistem, mobilitas penduduk, kebijakan yang tidak ramah terhadap bahasa, serta budaya umumnya, persaingan bahasa, dan lain-lain.
Disamping itu, dari sisi jumlah penutur, bahasa Gayo dituturkan tidak lebih dari 500 ribu penutur (perkiraan penulis), sementara bahasa Aceh lebih dari 1 juta. Tentu, jumlah penutur bahasa-bahasa minor lainnya, seperti Alas, Tamiang, Simelue, Anak Jameuk, Kluet dan Singkil lebih kecil dari bahasa Gayo. Dari sisi jumlah penutur, bahasa Aceh lebih diuntungkan dalam hal ini, berpenutur lebih besar. Namun, tidak ada jaminan, besarnya penutur bahasa akan menjadikan bahasanya bertahan. Kebertahanan suatu bahasa berada pada penutur bahasa bersangkutan, untuk senantiasa memakai bahasanya dalam kehidupan yang lebih luas.
Melihat gambaran penelitian di Takengon, tanoh Gayo tersebut, perlu upaya yang lebih serius terhadap penyelamatan bahasa-bahasa daerah di Aceh dari Pemerintah Aceh, dan Pemerintah Kabupaten terutama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan sebagai leading sector, terlebih lagi, bagi bahasa-bahasa minor yang sudah sudah diambang kritis (endangered language), termasuk bahasa Gayo di dalamnnya. Upaya tersebut dilakukan, sebagai prioritas awal; dengan pendokumentasian tertulis bahasa, dan apa pun terkait dengan etnik tersebut, selain menggugah kesadaran akan pentingnya pemakaian, dan memertahankan bahasa daerah. Pemertahanan bahasa daerah ini penting, karena bahasa daerah merupakan identitas, merekam kearifan-kearifan lokal, konsep-konsep kolektif, nilai-nilai historis, relijius, filosofi, sosio-budaya, dan ekologis dari masyarakat tempatan.
*Mahasiswa Pascasarajana Linguistik Konsentrasi Ekolinguistik Universitas Sumatera Utara (USU)
Sumber: www.gayolinge.com (5 Oktober 2009)
Bahasa tidak sebatas alat komunikasi. Lebih dari itu, bahasa mengandung visi budaya; merekam, memelihara, dan mewariskan konsep-konsep kolektif, nilai-nilai historis, relijius, filosofi, sosio-budaya, dan ekologis dari masyarakat tempatan. Seperti halnya mahluk hidup, bahasa juga hidup, berkembang, dan memungkinkan untuk mati. Hal ini, bisa didekati, salah satunya melalui ekolinguistik, kajian interdisipliner dalam linguistik, yang melihat tautan antara bahasa dan lingkungannya. Sebaliknya, perubahan lingkungan (ekosistem) terekam dengan jelas, terlihat dan tergambar dalam bahasa.
Salah satu penyebab menjadikan bahasa tidak lagi tertutur, terpelihara, dan terwaris, adalah tidaknya adanya tempat bahasa itu untuk hidup. Lingkungan bahasa berubah, yang mengakibatkan hilangnya register (istilah) yang berhubungan dengan ragam tertentu. Misalnya, bentuk rumah di Aceh, yang dulunya berbentuk panggung, kini sudah menyatu dengan tanah. Otomatis, register yang berhubungan dengan rumah panggung tadi hilang, dan tidak lagi dikenal generasi penutur yang lebih muda. Dari aspek sosiologis, pengaruh tadi semakin besar, yang memengaruhi sikap guyub tutur terhadap bahasanya, sebagai bagian dari ekosistem secara keseluruhan (komunitas tutur). Interaksi budaya, pluralitas etnik, dan heterogenitas budaya berpengaruh kuat terhadap pola pikir, sikap, dan pola tindak penutur bahasa. Misalnya saja, sikap SMU negeri di Banda Aceh tidak lagi setuju dengan pemakaian bahasa Aceh antarsiswa yang sama-sama orang Aceh. Alasannya, pemakaian bahasa Aceh dianggap kuno, bahasa Aceh kurang komunikatif, dan bahasa Aceh tidak diperlukan di sekolah (Taib et all, 2004 dalam Isda Pramuniati, 2009)
Begitu juga di Takengon, penelitian terbaru menunjukkan (al-Gayoni, 2009), bahasa Gayo dimungkinkan punah sekirannya sikap berbahasa penututur bahasa ini tidak berubah. Penutur bahasa Gayo kurang sadar, tidak setia, dan tidak lagi menuturkan bahasanya, terutama di empat kecamatan di Takengon, yaitu kecamatan Bebesen, kecamatan Kebayakan, kecamatan Lut Tawar, dan kecamatan Pegasing. Kurangnya dipakainya bahasa ini juga akibat pindahnya penuturnya ke daerah lain, yang jarang melakukan kontak satu sama lain. Disamping itu, penggunaan bahasa Indonesia kian meluas dalam ranah kehidupan sosial di Takengon. Tidak sebatas dalam keluarga, lingkungan ketetanggaan, masyarakat, bahkan telah menembus kampung-kampung. Kemudian, transmisi budaya, termasuk transmisi bahasa kurang berjalan dengan baik dari generasi tua (1920-1960) ke generasi muda (1970-sekarang). Akibatnya, generasi yang muda tidak lagi mengenal konsep budaya tempatan.
Ditambah lagi, terbatasnya rujukan tertulis, kurangnya penulis, dan tidak adanya budaya/lingkungan menulis. Peristiwa masa lalu hanya dikuatkan melalui sastra lisan, yang ada sepuluh di Gayo (salah satunya didong). Yang lebih penting, dan memiliki peran penting terhadap penyelamat bahasa Gayo, adalah tidak adanya politik (language politic), kebijakan (language policy), dan perencanaan bahasa Gayo (language planning) dari Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, yaitu dengan pengajaran, dan pembelajaran bahasa Gayo mulai dari play group sampai pendidikan tinggi. Kalau pun ada, masih sangat terbatas, dengan kurikulum, dan tenaga pendidikan yang cenderung “dipaksakan.”
Pluralitas etnik, interaksi, dan heterogenitas budaya sangat memengaruhi penutur bahasa-bahasa daerah di Gayo, dan Aceh umumnya. Dengan begitu, diperlukan bahasa kedua sebagai bahasa pengantar, yaitu bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sangat mendominasi dalam berbagai peristiwa tutur yang ada. Bahasa Indonesia turut pula “membunuh” bahasa daerah terlebih-lebih bahasa-bahasa minor di Aceh. Bahasa daerah tidak lagi mendapat tempat untuk bertahan, terpakai, serta terwaris. Telah pula tergusur oleh pemakaian bahasa yang lebih berprestise, dan memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi. Tidak adanya tempat bahasa untuk hidup itu, berdasarkan perspektif ekolinguistik dikarenakan perubahan ekosistem, mobilitas penduduk, kebijakan yang tidak ramah terhadap bahasa, serta budaya umumnya, persaingan bahasa, dan lain-lain.
Disamping itu, dari sisi jumlah penutur, bahasa Gayo dituturkan tidak lebih dari 500 ribu penutur (perkiraan penulis), sementara bahasa Aceh lebih dari 1 juta. Tentu, jumlah penutur bahasa-bahasa minor lainnya, seperti Alas, Tamiang, Simelue, Anak Jameuk, Kluet dan Singkil lebih kecil dari bahasa Gayo. Dari sisi jumlah penutur, bahasa Aceh lebih diuntungkan dalam hal ini, berpenutur lebih besar. Namun, tidak ada jaminan, besarnya penutur bahasa akan menjadikan bahasanya bertahan. Kebertahanan suatu bahasa berada pada penutur bahasa bersangkutan, untuk senantiasa memakai bahasanya dalam kehidupan yang lebih luas.
Melihat gambaran penelitian di Takengon, tanoh Gayo tersebut, perlu upaya yang lebih serius terhadap penyelamatan bahasa-bahasa daerah di Aceh dari Pemerintah Aceh, dan Pemerintah Kabupaten terutama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan sebagai leading sector, terlebih lagi, bagi bahasa-bahasa minor yang sudah sudah diambang kritis (endangered language), termasuk bahasa Gayo di dalamnnya. Upaya tersebut dilakukan, sebagai prioritas awal; dengan pendokumentasian tertulis bahasa, dan apa pun terkait dengan etnik tersebut, selain menggugah kesadaran akan pentingnya pemakaian, dan memertahankan bahasa daerah. Pemertahanan bahasa daerah ini penting, karena bahasa daerah merupakan identitas, merekam kearifan-kearifan lokal, konsep-konsep kolektif, nilai-nilai historis, relijius, filosofi, sosio-budaya, dan ekologis dari masyarakat tempatan.
*Mahasiswa Pascasarajana Linguistik Konsentrasi Ekolinguistik Universitas Sumatera Utara (USU)
Sumber: www.gayolinge.com (5 Oktober 2009)
Jumat, 11 Desember 2009
Misi “Kemanusiaan” Didong
Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
Abdul Latif, demikianlah nama salah seorang pengarang, sekaligus ceh pada kelop (kelompok/grup Didong) Kebinet, Bebesen, Takengon, Aceh. Kelop ini terbilang kelop tua dalam dunia didong di tanoh Gayo. Didong sendiri merupakan seni yang memadukan puisi, gerak, dan vokal. Tanggal 21 November 2009, kebetulan penulis bertemu Abdul Latif, yang kerap disapa Atif, di salah tempat pangkas rambut di Kampung Simpang Pet, Kecamatan Bebesen, Takengon. Bagi masyarakat Bebesen dan Takengon, Latif merupakan salah satu ceh kul (ceh legendaries, dan cukup disegani). Penulis kerap mendengar namanya dari masyarakat. Namun, belum pernah bertemu, dan bercerita secara khusus soal didong, dan keterlibatannya di dalamnya.
Karenanya, kesempatan yang jarang terjadi tersebut, penulis manfaatkan untuk menanyakan soal keterlibatannya dalam, dan umumnya soal didong. Tatapan kosong Atif tertuju pada antrian mobil yang ada di bawah. Kami sendiri; penulis, awan (kakek) Dahlan, dan ama (bapak) Atif berada di tempat yang lebih tinggi. Tepatnya, di tempat pangkasnya awan Dahlan. Gerimis hujan, menjadikan tempat tadi bertambah dingin, terlebih-lebih saat angin dari arah kampung Bebesen berhembus. Memang, saat itu, dan sejak penulis berada di Takengon, hampir setiap hari, kota Takengon terus diguyur hujan. Dengan penuh penjiwaan, keluar-lah suara yang kurang terdengar begitu jelas dari mulut Atif. Namun, penulis bisa menangkap warna, makna, dan pesan di balik suara tadi. Percakapan hangat pun berlangsung, saat guk khas Atif keluar. Sementara itu, awan Dahlan pun larut memangkas rambut penulis. Penulis lebih banyak diam, dengan sesekali bertanya, sembari mendengar guk puisi-puisi yang dilagukan, dan memperhatikan raut wajah, tambah bahasa tubuh Atif.
Atif yang sehari-hari berkerja sebagai toke kopi, memulai didong sejak tahun 1965. Pada saat itu, selain mencipta, Latif sudah menjadi ceh. Suara Latif begitu khas, “merdu” dan enak di dengar. Begitulah harusnya seorang ceh didong di tanoh Gayo. Selain mampu menciptakan lirik didong (puisi), seorang ceh harus memiliki suara yang bagus, dan mampu membawakan lirik-lirik tadi (menjadi vokalis didong). Namun, dewasa ini, kata Atif, banyak ceh yang tidak memenuhi syarat. Lebih banyak ceh-ceh-han. Umumnya ceh sekarang, hanya mampu membawakan lirikan didong. Itu pun karya ceh lain, yang sudah kerap dibawakan dalam didong, atau lagu. Belum lagi, suara-nya yang pas-pas-san. Ceh yang ada sekarang cenderung memaksakan diri, asal disebut ceh. Banyak ceh tidak lagi mampu mencipta, terlebih lagi dengan kandungan nilai-nilai, dan filsafat sastra Gayo yang tinggi. Enti mu lelang empus si nge lapang, kata Atif sambil tertawa. Artinya, jangan membersihkan rerumputan (yang ada di) kebun yang sudah lapang. Sebaliknya, harus mampu menciptakan karya sendiri, tidak plagiat, dan tidak mengklaim karya orang lain jadi milik sendiri.
Bagi Atif, didong harus mampu menjadi sarana pemersatu, dalam menciptakan harmoni sosial di tanoh Gayo, dan Aceh. Bagaimana mau harmoni, dalam perkembangan didong, ceh dan kelop didong sekarang, saling membuka aib. Bahasa yang digunakan, juga bahasa yang “vulgar,” langsung, dan cenderung kasar. Ceh sudah jarang yang berfilsafat, menggunakan filsafat bahasa, bahasa yang santun, dan tidak lagi memakai simbol-simbol. Dalam dunia didong, hal tadi terkandung dalam tamsil, dan ibarat. Begitulah pegeseran nilai, norma, dan budaya dalam didong, dan umumnya budaya orang yang berdiam di tanoh Gayo.
Selanjutnya, didong harus mampu bertindak sebagai sarana pembangunan “pencari dana sosial” (meminjam istilah Melalatoa). Ingatan penulis langsung tertuju pada “Mesejit Mutelong” (Masjid Terbakar), salah satu karya Abdullah Mongal, yang lebih dikenal dengan sapaan Gecik Tue Mongal. “Mesejit Mutelong” ini mengisahkan terbakarnya Mesjid Bebesen (sekarang Mesjid Besar Quba Bebesen yang ada di Takengon), yang dibakar anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), 21 Juli 1965. Ketika itu, pencarian dana pun dilakukan Kelop Kebinet di berbagai tempat di Takengon (termasuk Bener Meriah). Atif sendiri bertindak vokalis, yang dipercayakan membawakan lagu ini. Penonton tak mau ketinggalan, berduyun-duyun menyaksikan pementasan Atif, dan Kelop Kebinet dari kampung Bebesen, sambil bersedekah. Mesejit Mutelong ini begitu menggugah, menyetuh rasa, dan mendorong masyarakat Bebesen khususnya, umumnya masyarakat Takengon, bahkan sampai ke luar daerah, untuk terlibat langsung dalam rekonstruksi, dan rehabilitasi masjid, dan masyarakat Bebesen melalui berbagai bentuk donasi yang diberikan kala itu.
Fungsi yang kedua ini yang sudah jarang diperankan dalam sejarah didong kontemporer di tanoh Gayo. Pementasan terakhir (sepetahuan penulis), dalam bentuk didong jalu (bentuk didong yang dipertandingkan), berlangsung tanggal 21 November 2009 lalu, antara Kelop Sebaya Bujang, dengan ceh-nya Ikhwansyah, dari Kabupaten Aceh Tengah dan Kelop Meriah Dama, dengan Arifin Muslim yang juga bertindak sebagai ceh, dari Kabupaten Bener Meriah. Pementasan ini bertujuan untuk menggalang dana dalam pembangunan Gedung Laboratorium Micro Teaching Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Gajah Putih Takengon, yang lantai dua-nya digunakan untuk Lembaga Penelitian dan Pengembangan, sekaligus dipakai untuk Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat.
Terakhir, bagi Atif, kesenian tradisional Gayo ini harus mampu menjadi sarana kemajuan. Kemajuan yang dimaksud tidak sebatas pembangunan fisik, melalui penggalangan dana, melainkan non-fisik, baik dalam pembentukan pola pikir, pola sikap, maupun pola tindak yang “sehat,” dan baik. Kemudian, ceh, melalui karya, dan kelop didong, harus mampu memperkenalkan tanoh Gayo ke luar. Akibatnya, masyarakat luar, tahu potensi yang dimiliki tanoh Gayo. Pada akhirnya, mereka akan berinventasi ke daerah Gayo. Dengan begitu, akan tercipta kesinerjisan dalam pembangunan tanoh Gayo, baik ceh, rakyat, berbagai elemen masyarakat dengan masing-masing potensi yang dimiliki, pemerintah, dan pihak luar.
Dalam amatan penulis, Atif tidak lagi aktif berdidong seperti awal-awal keterlibatannya. Keterlibatannya dalam didong lebih karena pergaulan sosial. Dengan kata lain, Atif tidak menggantungkan hidup sepenuhnya pada didong. Kekurang-aktifannya dalam didong belakangan, dan dewasa ini, karena kurangnya penghargaan kepada ceh-ceh. Para ceh dan kelop didong diperlukan hanya untuk saat, dan keperluan tertentu. Setelah itu, para ceh, dan kelop didong “dicampakkan” begitu saja. Tak jarang, karya ceh banyak yang digubah, “diambil” ceh, atau pihak lain, dengan sengaja, dan tanpa izin “di curi.” Begitu juga dengan pemerintah, yang masih kurang menghargai ceh, terutama yang berkenaan dengan ekonomi ceh “kelangsungan hidup.” Akibatnya, ceh tak mampu fokus, dan total dalam mencipta, dan ber-didong, karena benturan perkara dapur. Umumnya, memang masih belum ada pembangunan kebudayaan, termasuk di dalamnya pembangunan sejarah, dan pembangunan pendidikan yang jelas, tepat, terarah, dan berkelanjutan di tanoh Gayo, khususnya di Takengon. Semua dibiarkan berlalu, dan hilang tanpa ada sentuhan, dan upaya penyelamatan. Walaupun, dewasa ini pergeseran nilai, norma, dan budaya masyarakat Gayo terjadi begitu deras.
Begitulah gambaran kecil pemikiran, dan kontribusi Atif selaku ceh dalam dunia didong di tanoh Gayo, Aceh, khususnya di Takengon dan Bener Meriah. Begitu pula ceh, dan kelop didong lainnya. Keberadaan mereka tutur berkontribusi bagi perkembangan daerah. Sumbangsih pemikiran, dan peran serta ceh dalam didong, berhasil membentuk konstruksi, dan harmonisasi sosial, serta berbagai kemajuan yang dicapai di tanoh Gayo. Bahkan, didong telah pula mengenalkan tanoh Gayo ke dunia luar. Alhasil, melalui didong, nahma, derajat, dan marwah daerah ini, Takengon, tanoh Gayo, dan Aceh turut pula terangkat.
*Pemerhati Kebudayaan Gayo, Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Konsentrasi Ekolinguistik Universitas Sumatera Utara (USU) Medan
Sumber: www.gayolinge.com (11 Desember 2009)
Abdul Latif, demikianlah nama salah seorang pengarang, sekaligus ceh pada kelop (kelompok/grup Didong) Kebinet, Bebesen, Takengon, Aceh. Kelop ini terbilang kelop tua dalam dunia didong di tanoh Gayo. Didong sendiri merupakan seni yang memadukan puisi, gerak, dan vokal. Tanggal 21 November 2009, kebetulan penulis bertemu Abdul Latif, yang kerap disapa Atif, di salah tempat pangkas rambut di Kampung Simpang Pet, Kecamatan Bebesen, Takengon. Bagi masyarakat Bebesen dan Takengon, Latif merupakan salah satu ceh kul (ceh legendaries, dan cukup disegani). Penulis kerap mendengar namanya dari masyarakat. Namun, belum pernah bertemu, dan bercerita secara khusus soal didong, dan keterlibatannya di dalamnya.
Karenanya, kesempatan yang jarang terjadi tersebut, penulis manfaatkan untuk menanyakan soal keterlibatannya dalam, dan umumnya soal didong. Tatapan kosong Atif tertuju pada antrian mobil yang ada di bawah. Kami sendiri; penulis, awan (kakek) Dahlan, dan ama (bapak) Atif berada di tempat yang lebih tinggi. Tepatnya, di tempat pangkasnya awan Dahlan. Gerimis hujan, menjadikan tempat tadi bertambah dingin, terlebih-lebih saat angin dari arah kampung Bebesen berhembus. Memang, saat itu, dan sejak penulis berada di Takengon, hampir setiap hari, kota Takengon terus diguyur hujan. Dengan penuh penjiwaan, keluar-lah suara yang kurang terdengar begitu jelas dari mulut Atif. Namun, penulis bisa menangkap warna, makna, dan pesan di balik suara tadi. Percakapan hangat pun berlangsung, saat guk khas Atif keluar. Sementara itu, awan Dahlan pun larut memangkas rambut penulis. Penulis lebih banyak diam, dengan sesekali bertanya, sembari mendengar guk puisi-puisi yang dilagukan, dan memperhatikan raut wajah, tambah bahasa tubuh Atif.
Atif yang sehari-hari berkerja sebagai toke kopi, memulai didong sejak tahun 1965. Pada saat itu, selain mencipta, Latif sudah menjadi ceh. Suara Latif begitu khas, “merdu” dan enak di dengar. Begitulah harusnya seorang ceh didong di tanoh Gayo. Selain mampu menciptakan lirik didong (puisi), seorang ceh harus memiliki suara yang bagus, dan mampu membawakan lirik-lirik tadi (menjadi vokalis didong). Namun, dewasa ini, kata Atif, banyak ceh yang tidak memenuhi syarat. Lebih banyak ceh-ceh-han. Umumnya ceh sekarang, hanya mampu membawakan lirikan didong. Itu pun karya ceh lain, yang sudah kerap dibawakan dalam didong, atau lagu. Belum lagi, suara-nya yang pas-pas-san. Ceh yang ada sekarang cenderung memaksakan diri, asal disebut ceh. Banyak ceh tidak lagi mampu mencipta, terlebih lagi dengan kandungan nilai-nilai, dan filsafat sastra Gayo yang tinggi. Enti mu lelang empus si nge lapang, kata Atif sambil tertawa. Artinya, jangan membersihkan rerumputan (yang ada di) kebun yang sudah lapang. Sebaliknya, harus mampu menciptakan karya sendiri, tidak plagiat, dan tidak mengklaim karya orang lain jadi milik sendiri.
Bagi Atif, didong harus mampu menjadi sarana pemersatu, dalam menciptakan harmoni sosial di tanoh Gayo, dan Aceh. Bagaimana mau harmoni, dalam perkembangan didong, ceh dan kelop didong sekarang, saling membuka aib. Bahasa yang digunakan, juga bahasa yang “vulgar,” langsung, dan cenderung kasar. Ceh sudah jarang yang berfilsafat, menggunakan filsafat bahasa, bahasa yang santun, dan tidak lagi memakai simbol-simbol. Dalam dunia didong, hal tadi terkandung dalam tamsil, dan ibarat. Begitulah pegeseran nilai, norma, dan budaya dalam didong, dan umumnya budaya orang yang berdiam di tanoh Gayo.
Selanjutnya, didong harus mampu bertindak sebagai sarana pembangunan “pencari dana sosial” (meminjam istilah Melalatoa). Ingatan penulis langsung tertuju pada “Mesejit Mutelong” (Masjid Terbakar), salah satu karya Abdullah Mongal, yang lebih dikenal dengan sapaan Gecik Tue Mongal. “Mesejit Mutelong” ini mengisahkan terbakarnya Mesjid Bebesen (sekarang Mesjid Besar Quba Bebesen yang ada di Takengon), yang dibakar anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), 21 Juli 1965. Ketika itu, pencarian dana pun dilakukan Kelop Kebinet di berbagai tempat di Takengon (termasuk Bener Meriah). Atif sendiri bertindak vokalis, yang dipercayakan membawakan lagu ini. Penonton tak mau ketinggalan, berduyun-duyun menyaksikan pementasan Atif, dan Kelop Kebinet dari kampung Bebesen, sambil bersedekah. Mesejit Mutelong ini begitu menggugah, menyetuh rasa, dan mendorong masyarakat Bebesen khususnya, umumnya masyarakat Takengon, bahkan sampai ke luar daerah, untuk terlibat langsung dalam rekonstruksi, dan rehabilitasi masjid, dan masyarakat Bebesen melalui berbagai bentuk donasi yang diberikan kala itu.
Fungsi yang kedua ini yang sudah jarang diperankan dalam sejarah didong kontemporer di tanoh Gayo. Pementasan terakhir (sepetahuan penulis), dalam bentuk didong jalu (bentuk didong yang dipertandingkan), berlangsung tanggal 21 November 2009 lalu, antara Kelop Sebaya Bujang, dengan ceh-nya Ikhwansyah, dari Kabupaten Aceh Tengah dan Kelop Meriah Dama, dengan Arifin Muslim yang juga bertindak sebagai ceh, dari Kabupaten Bener Meriah. Pementasan ini bertujuan untuk menggalang dana dalam pembangunan Gedung Laboratorium Micro Teaching Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Gajah Putih Takengon, yang lantai dua-nya digunakan untuk Lembaga Penelitian dan Pengembangan, sekaligus dipakai untuk Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat.
Terakhir, bagi Atif, kesenian tradisional Gayo ini harus mampu menjadi sarana kemajuan. Kemajuan yang dimaksud tidak sebatas pembangunan fisik, melalui penggalangan dana, melainkan non-fisik, baik dalam pembentukan pola pikir, pola sikap, maupun pola tindak yang “sehat,” dan baik. Kemudian, ceh, melalui karya, dan kelop didong, harus mampu memperkenalkan tanoh Gayo ke luar. Akibatnya, masyarakat luar, tahu potensi yang dimiliki tanoh Gayo. Pada akhirnya, mereka akan berinventasi ke daerah Gayo. Dengan begitu, akan tercipta kesinerjisan dalam pembangunan tanoh Gayo, baik ceh, rakyat, berbagai elemen masyarakat dengan masing-masing potensi yang dimiliki, pemerintah, dan pihak luar.
Dalam amatan penulis, Atif tidak lagi aktif berdidong seperti awal-awal keterlibatannya. Keterlibatannya dalam didong lebih karena pergaulan sosial. Dengan kata lain, Atif tidak menggantungkan hidup sepenuhnya pada didong. Kekurang-aktifannya dalam didong belakangan, dan dewasa ini, karena kurangnya penghargaan kepada ceh-ceh. Para ceh dan kelop didong diperlukan hanya untuk saat, dan keperluan tertentu. Setelah itu, para ceh, dan kelop didong “dicampakkan” begitu saja. Tak jarang, karya ceh banyak yang digubah, “diambil” ceh, atau pihak lain, dengan sengaja, dan tanpa izin “di curi.” Begitu juga dengan pemerintah, yang masih kurang menghargai ceh, terutama yang berkenaan dengan ekonomi ceh “kelangsungan hidup.” Akibatnya, ceh tak mampu fokus, dan total dalam mencipta, dan ber-didong, karena benturan perkara dapur. Umumnya, memang masih belum ada pembangunan kebudayaan, termasuk di dalamnya pembangunan sejarah, dan pembangunan pendidikan yang jelas, tepat, terarah, dan berkelanjutan di tanoh Gayo, khususnya di Takengon. Semua dibiarkan berlalu, dan hilang tanpa ada sentuhan, dan upaya penyelamatan. Walaupun, dewasa ini pergeseran nilai, norma, dan budaya masyarakat Gayo terjadi begitu deras.
Begitulah gambaran kecil pemikiran, dan kontribusi Atif selaku ceh dalam dunia didong di tanoh Gayo, Aceh, khususnya di Takengon dan Bener Meriah. Begitu pula ceh, dan kelop didong lainnya. Keberadaan mereka tutur berkontribusi bagi perkembangan daerah. Sumbangsih pemikiran, dan peran serta ceh dalam didong, berhasil membentuk konstruksi, dan harmonisasi sosial, serta berbagai kemajuan yang dicapai di tanoh Gayo. Bahkan, didong telah pula mengenalkan tanoh Gayo ke dunia luar. Alhasil, melalui didong, nahma, derajat, dan marwah daerah ini, Takengon, tanoh Gayo, dan Aceh turut pula terangkat.
*Pemerhati Kebudayaan Gayo, Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Konsentrasi Ekolinguistik Universitas Sumatera Utara (USU) Medan
Sumber: www.gayolinge.com (11 Desember 2009)
Selasa, 08 Desember 2009
Ekologi Sosial Bertutur di Gayo
Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
Tutur merupakan sistem panggilan atau bentuk sapaan yang ada dalam masyarakat Gayo. Melalatoa dalam Kamus Bahasa Gayo – Indonesia, mendefinisikan tutur sebagai sistem atau istilah kekerabatan (1985:406). Bertutur diartikan dengan penggunaan tutur, sistem, tata, atau istilah kekerabatan. Terminologi tutur ini merupakan leksikon yang berbeda dengan kata tutur yang terdapat dalam bahasa Indonesia, atau tutur (speech) dalam bahasa Inggris. Ketiganya memiliki istilah yang sama, dengan pengertian, muatan, dan simbol yang berbeda.
Dalam tutur tergambar cara, sikap, dan kesantunan berbahasa pengguna tutur. Melalui tutur, juga dapat diketahui, sifat, karakter seseorang, dan kesensitifan seseorang. Dengan kata lain, penggguna tutur mengetahui, mengerti, memahami, dan menghargai mitra tutur-nya secara mendalam. Dalam istilah lokal dikenal, jema si be tutur, barti jema mu agama, mu edet, dan mu peraturen. Artinya, orang yang bertutur (menggunakan tutur) berarti (yang bersangkutan) orang yang beragama, beradat, dan berperaturan (tahu resam dan peraturan terkait komunikasi dan hubungan interpersonal). Tutur menjadi ruh dari adat istiadat yang berlaku di Gayo. Tutur tidak terbatas menyentuh kajian psikis, menggambarkan norma, nilai, sosio-kultural, melainkan menggambarkan nilai-nilai personal, kolektif, filosofi, dan relijiusitas penuturnya. Lebih dari tutur, sebagai simbol sosial, dan identitas orang Gayo, akhirnya menciptakan keharmonisan sosial dalam masyarakatnya.
Namun, belakangan, tutur sudah mulai kurang dipakai. Bahkan, tutur sudah mulai ditinggalkan penuturnya. Kurangnya penggunaan tutur dalam masyarakat Gayo, secara umum disebabkan dua faktor. Pertama, faktor internal, yaitu pengguna tutur yang bersangkutan yaitu masyarakat Gayo sendiri. Masyarakat Gayo kurang menyadari nilai-nilai filosofis, moral, religi, dan kekayaan kandungan tutur. Bahkan, secara umum, masyarakat ini kurang menghargai budaya yang terwaris pada mereka, permisif, inferior, dan apatis terhadap budayanya sendiri. Dalam tautan tersebut, tutur tidak diajarkan di dunia pendidikan formal, mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Begitu juga secara informal (dalam keluarga). Pengguna tutur juga enggan mempelajari tutur. Konsekuensinya, tutur jarang digunakan secara luas dalam kehidupan sehari-hari. Pada akhirnya, lingkungan bertutur (semacam model bertutur) tidak akan tercipta dengan baik antar individu, dalam keluarga, lingkungan ketetanggan, maupun dalam masyarakat. Lebih dari itu, tutur tidak dilestarikan, misalnya dalam bentuk pengkajian, penelitian, pensosialisasian dan pendokumentasian.
Kedua, faktor eksternal, yaitu pengaruh yang berasal dari luar masyarakat ini. Pengaruh kedua ini dirasakan berpengaruh besar terhadap lingkungan, atau ekologi sosial bertutur. Terlebih lagi, masyarakat tempatan bersifat terbuka, toleran, dinamis dan akomodatif terhadap perubahan. Dengan begitu, pengaruh tadi dengan cepat masuk dalam kehidupan sosial masyarakat ini. Misalnya saja, penggunaan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dipandang lebih berprestise, komunikatif, dan memiliki nilai ekonomis yang lebih. Sistem panggilan yang ada dalam bahasa ini mengalahkan sistem tutur yang ada.
Selanjutnya, interaksi budaya, pengaruh ini cukup mempengaruhi penggunaan tutur dalam masyarakat ini. Terlebih lagi, lingkungan ekologis bahasa Gayo didiami lebih dari delapan etnik, yaitu Aceh, Jawa, Cina, Padang, Toba, Karo, Mandailing, Cina, Melayu, Sunda, dan lain-lain. Salah satunya, terjadinya perwakinan silang, dan komunikasi budaya. Terlebih lagi, pihak laki-laki bukan orang Gayo, maka penggunaan, dan pemertahanan tutur tadi semakin kecil. Begitu juga dengan komunikasi budaya, berujung pada kompetisi budaya, salah satunya adalah penggunaan tutur dimaksud. Akhirnya, evolusi ekologis bertutur , menjadikan tutur yang ada pada masyarakat tempatan kurang dipakai. Ditambah lagi, kurangnya kesadaran masyarakatnya sendiri.
Pengaruh lain yang dominan adalah media, baik media cetak maupun elektronik. Salah satu contoh yang paling nyata adalah pengaruh televisi. Televisi berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat Gayo, tak terkecuali dalam hal penggunaan tutur. Misalnya saja, anak-anak, atau pelaku tutur tidak lagi menyapa orang tuanya dengan sapaan ama (bapak) atau ine (ibu). Untuk keluarga yang lebih besar, awan (kakek) dan anan (nenek) katakanlah. Akan tetapi, mereka (anak-anak tadi), menggunakan bentuk sapaan persona bahasa Indonesia seperti bapak, papa, mamak, bunda, mama, kakek dan nenek. Begitu juga halnya dengan pengaruh bahasa prokem yang kerap tayang di televisi; lu, gua, dan lain-lain, turut memengaruhi anak muda di tanoh Gayo, khususnya di Takengon (meski pengaruhnya masih kecil).
Terakhir, lingkungan, kurangnya penggunaan tutur tadi, baik secara personal, dalam keluarga, lingkungan ketetanggaan, masyarakat, dalam dunia pendidikan, maupun dalam berbagai tindak bertutur, menjadikan lingkungan bertutur tidak terbentuk (ekologi bertutur). Akibatnya, tidak adanya model bertutur yang ideal yang dapat dijadikan contoh, yaitu acuan pembelajaran, pengajaran, dan pemeraktekkan tutur. Dengan begitu, terlebih lagi anak-anak, akan semakin kurang melihat (dalam bentuk bacaan), memperhatikan, mendengar, mengingat, dan menerapkan tutur tersebut dalam pergaulan mereka sehari-hari (al-Gayoni, 2009: 277-280). Kalau tutur tidak lagi terekam dalam kognisi penggunanya, tambah lagi tidak terujuknya tutur tadi dalam penggunanya, maka pengaruh hilangnya tutur ini semakin besar. Dengan begitu, tutur yang berfungsi sebagai simbol sosial, dan merefleksikan identitas ke-Gayo-an, menjadikan kandungan budaya yang melekat pada tutur juga hilang.
*Penulis buku “Bertutur di Tanoh Gayo,” & Mahasiswa Pascasarjana Linguistik, Konsentrasi Ekolinguistik (Ekologi Bahasa) Universitas Sumatera Utara (USU)
Sumber: www.gayolinge.com (diakses tanggal 8 Desember 2009)
Tutur merupakan sistem panggilan atau bentuk sapaan yang ada dalam masyarakat Gayo. Melalatoa dalam Kamus Bahasa Gayo – Indonesia, mendefinisikan tutur sebagai sistem atau istilah kekerabatan (1985:406). Bertutur diartikan dengan penggunaan tutur, sistem, tata, atau istilah kekerabatan. Terminologi tutur ini merupakan leksikon yang berbeda dengan kata tutur yang terdapat dalam bahasa Indonesia, atau tutur (speech) dalam bahasa Inggris. Ketiganya memiliki istilah yang sama, dengan pengertian, muatan, dan simbol yang berbeda.
Dalam tutur tergambar cara, sikap, dan kesantunan berbahasa pengguna tutur. Melalui tutur, juga dapat diketahui, sifat, karakter seseorang, dan kesensitifan seseorang. Dengan kata lain, penggguna tutur mengetahui, mengerti, memahami, dan menghargai mitra tutur-nya secara mendalam. Dalam istilah lokal dikenal, jema si be tutur, barti jema mu agama, mu edet, dan mu peraturen. Artinya, orang yang bertutur (menggunakan tutur) berarti (yang bersangkutan) orang yang beragama, beradat, dan berperaturan (tahu resam dan peraturan terkait komunikasi dan hubungan interpersonal). Tutur menjadi ruh dari adat istiadat yang berlaku di Gayo. Tutur tidak terbatas menyentuh kajian psikis, menggambarkan norma, nilai, sosio-kultural, melainkan menggambarkan nilai-nilai personal, kolektif, filosofi, dan relijiusitas penuturnya. Lebih dari tutur, sebagai simbol sosial, dan identitas orang Gayo, akhirnya menciptakan keharmonisan sosial dalam masyarakatnya.
Namun, belakangan, tutur sudah mulai kurang dipakai. Bahkan, tutur sudah mulai ditinggalkan penuturnya. Kurangnya penggunaan tutur dalam masyarakat Gayo, secara umum disebabkan dua faktor. Pertama, faktor internal, yaitu pengguna tutur yang bersangkutan yaitu masyarakat Gayo sendiri. Masyarakat Gayo kurang menyadari nilai-nilai filosofis, moral, religi, dan kekayaan kandungan tutur. Bahkan, secara umum, masyarakat ini kurang menghargai budaya yang terwaris pada mereka, permisif, inferior, dan apatis terhadap budayanya sendiri. Dalam tautan tersebut, tutur tidak diajarkan di dunia pendidikan formal, mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Begitu juga secara informal (dalam keluarga). Pengguna tutur juga enggan mempelajari tutur. Konsekuensinya, tutur jarang digunakan secara luas dalam kehidupan sehari-hari. Pada akhirnya, lingkungan bertutur (semacam model bertutur) tidak akan tercipta dengan baik antar individu, dalam keluarga, lingkungan ketetanggan, maupun dalam masyarakat. Lebih dari itu, tutur tidak dilestarikan, misalnya dalam bentuk pengkajian, penelitian, pensosialisasian dan pendokumentasian.
Kedua, faktor eksternal, yaitu pengaruh yang berasal dari luar masyarakat ini. Pengaruh kedua ini dirasakan berpengaruh besar terhadap lingkungan, atau ekologi sosial bertutur. Terlebih lagi, masyarakat tempatan bersifat terbuka, toleran, dinamis dan akomodatif terhadap perubahan. Dengan begitu, pengaruh tadi dengan cepat masuk dalam kehidupan sosial masyarakat ini. Misalnya saja, penggunaan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dipandang lebih berprestise, komunikatif, dan memiliki nilai ekonomis yang lebih. Sistem panggilan yang ada dalam bahasa ini mengalahkan sistem tutur yang ada.
Selanjutnya, interaksi budaya, pengaruh ini cukup mempengaruhi penggunaan tutur dalam masyarakat ini. Terlebih lagi, lingkungan ekologis bahasa Gayo didiami lebih dari delapan etnik, yaitu Aceh, Jawa, Cina, Padang, Toba, Karo, Mandailing, Cina, Melayu, Sunda, dan lain-lain. Salah satunya, terjadinya perwakinan silang, dan komunikasi budaya. Terlebih lagi, pihak laki-laki bukan orang Gayo, maka penggunaan, dan pemertahanan tutur tadi semakin kecil. Begitu juga dengan komunikasi budaya, berujung pada kompetisi budaya, salah satunya adalah penggunaan tutur dimaksud. Akhirnya, evolusi ekologis bertutur , menjadikan tutur yang ada pada masyarakat tempatan kurang dipakai. Ditambah lagi, kurangnya kesadaran masyarakatnya sendiri.
Pengaruh lain yang dominan adalah media, baik media cetak maupun elektronik. Salah satu contoh yang paling nyata adalah pengaruh televisi. Televisi berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat Gayo, tak terkecuali dalam hal penggunaan tutur. Misalnya saja, anak-anak, atau pelaku tutur tidak lagi menyapa orang tuanya dengan sapaan ama (bapak) atau ine (ibu). Untuk keluarga yang lebih besar, awan (kakek) dan anan (nenek) katakanlah. Akan tetapi, mereka (anak-anak tadi), menggunakan bentuk sapaan persona bahasa Indonesia seperti bapak, papa, mamak, bunda, mama, kakek dan nenek. Begitu juga halnya dengan pengaruh bahasa prokem yang kerap tayang di televisi; lu, gua, dan lain-lain, turut memengaruhi anak muda di tanoh Gayo, khususnya di Takengon (meski pengaruhnya masih kecil).
Terakhir, lingkungan, kurangnya penggunaan tutur tadi, baik secara personal, dalam keluarga, lingkungan ketetanggaan, masyarakat, dalam dunia pendidikan, maupun dalam berbagai tindak bertutur, menjadikan lingkungan bertutur tidak terbentuk (ekologi bertutur). Akibatnya, tidak adanya model bertutur yang ideal yang dapat dijadikan contoh, yaitu acuan pembelajaran, pengajaran, dan pemeraktekkan tutur. Dengan begitu, terlebih lagi anak-anak, akan semakin kurang melihat (dalam bentuk bacaan), memperhatikan, mendengar, mengingat, dan menerapkan tutur tersebut dalam pergaulan mereka sehari-hari (al-Gayoni, 2009: 277-280). Kalau tutur tidak lagi terekam dalam kognisi penggunanya, tambah lagi tidak terujuknya tutur tadi dalam penggunanya, maka pengaruh hilangnya tutur ini semakin besar. Dengan begitu, tutur yang berfungsi sebagai simbol sosial, dan merefleksikan identitas ke-Gayo-an, menjadikan kandungan budaya yang melekat pada tutur juga hilang.
*Penulis buku “Bertutur di Tanoh Gayo,” & Mahasiswa Pascasarjana Linguistik, Konsentrasi Ekolinguistik (Ekologi Bahasa) Universitas Sumatera Utara (USU)
Sumber: www.gayolinge.com (diakses tanggal 8 Desember 2009)
M. Yusin Saleh Sang Profesor Bahasa Gayo
Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
*Pemerhati Kebudayaan Gayo, dan Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Konsentrasi Ekolinguistik Universitas Sumatera Utara (USU) Medan
Di kalangan masyarakat Gayo, khususnya di Takengon, Aceh Tengah, nama M. Yusin Saleh tidak asing lagi. Selain di Takengon, dan tanoh Gayo, beliau dikenal pula di Bireuen, juga di lingkungan Dinas Perternakan Aceh. Selain sebagai mantan Kadis Perternakan, di tanoh Gayo, M. Yusin dikenal sebagai pelaku sa’er, dan didong pada kelop Ketimil. Sa’er, dan didong merupakan dua dari sepuluh sastra lisan yang dimiliki masyarakat Gayo. Sa’er berisi puisi yang bertemakan nilai-nilai religius, yang biasanya “dinyanyikan” bersama. Sementara itu, didong merupakan konfigurasi puisi, vokal, dan gerak dengan berbagai topik, muatan, dan simbol sosial. Putra pasangan M. Saleh dengan Siti Halimah ini, lahir di Kampung Bujang, Takengon, Propinsi Aceh, tanggal 19 September 1947. Nama M. Saleh yang melekat di ujung namanya, tidak lain adalah nama bapaknya (bahasa Gayo= ama e).
Yusin Saleh hanya memiliki satu saudara perempuan, yaitu Hatijah Saleh, yang merupakan kakak sulungnya. Setelah Yusin tumbuh dewasa, dia kemudian melangsungkan pernikahan dengan Armiyati KAZET, yang saat ini berprofesi sebagai guru kesenian SMP Negeri 1 Takengon. Dari hasil perkawinannya, mereka dianugerahi dua anak, yaitu Ariayu Maharona, S.T., alumni Teknik Sipil Institute Teknologi Medan (ITM), dan Eriyosayu Winarona.
Tahun 1959, M. Yusin memasuki Sekolah Rakyat di kota Takengon, dan selesai tahun 1960. Kemudian, melanjutkan sekolahnya ke SMP Negeri 1 Takengon, dan selesai tahun 1963. Tahun 1966, selesai lagi dari SMA Negeri 1 Takengong sekarang. M. Yusin melanjutkan kuliahnya dengan mengambil jurusan perternakan di Universitas Syiahkuala (Unsyiah) pada tahun 1967. Setahun berikutnya, M. Yasin memperoleh gelar sarjana muda. Tahun 1972, M. Yusin menyelesaikan S-1-nya dengan jurusan, dan dari universitas yang sama. M. Yusin meneruskan kembali studinya, ke jenjang S-2 di DILI, Jakarta, tahun 1991. Gelar MBA pun diraihnya pada tahun 1992. Selama menjadi mahasiswa di Universitas Syiahkuala, Banda Aceh, M. Yusin aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan, diantaranya, Senat Mahasiswa, dan Dewan Mahasiswa.
Setelah menyesaikan sarjana muda-nya, beliau bekerja sebagai pegawai negeri sipil. M. Yusin sempat menduduki Kepala Dinas Perternakan Biren, Kepala sekaligus Membangun Sekolah Pertanian & Perternakan (SPP) Biren, Kepala UPP SIE Asian Development Bank (ADB), Kepala UPT HM Ternak, Kasi Informasi Dinas Perternakan Propinsi Aceh, Kepala Dinas Perternakan Aceh Tengah tahun 1992-2002, Kepala Kesbang Limnas Aceh Tengah selama 16 bulan, Kepala Pembangunan Masyarakat Desa (PMD) Aceh Tengah, dan Kepala BAPELDALDA Aceh Tengah, dan pensiun tahun 2004. Saat yang bersamaan, M. Yusin ikut serta dalam Himpunan Keluarga Tani Indonesia (HKTI), dan Persatuan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI)
Saat bertugas di Takengon, M. Yusin tercatat sebagai salah seorang dosen Adat&Syari’at Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Muhammadiyah Aceh Tengah (STIHMAT) tahun 1996, dosen Adat&Syari’at Alwasliyah sejak tahun 2001 sampai 2004. M. Yusin juga mengasuh mata kuliah yang sama di Gajah Putih sejak tahun 1997 sampai sekarang. Juga, aktif di Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), Yayasan Pendidikan Islam (YPI) Takengon, Organisasi Muhammadiyah Aceh Tengah, dan LSM Peternak
Terkait dengan sastra lisan, M. Yusin terlibat dalam sa’er pada tahun 1957. Setahun kemudian, M. Yusin menjadi ceh sa’er. Pada saat itu, beliau biasa membawakan sa’er-sa’er yang diciptakan penya’er yang ada di Takengon. Terkait dengan didong, sejak tahun 1965, M. Yusin mulai ber-didong. Sejak kecil, khususnya saat ber-sa’er, M. Yusin terbiasa dengan pencarian makna. Dia kerap bertanya kepada dirinya sendiri, “Apa makna yang mewataki kata-kata yang diciptakan ceh-ceh?” dan “Apa alasan pemilihan kata tadi?”.
Tak jarang, ketika M. Yusin mengalami kebuntuan dalam pencarian makna tersebut, beliau langsung menemui, dan bertanya kepada pencipta sa’er, dan ceh didong yang bersangkutan. Salah satunya, ceh kenamaan Gayo, yaitu Sali Gobal. M. Yusin yang ketika itu masih anak-anak biasa berguru makna kepada Sali Gobal terkait kandungan makna dalam karya-karyanya. Dapat dikatakan, sejak awal keterlibatannya dalam sa’er, lalu didong, M. Yusin, secara tidak sadar, sudah membenamkan dirinya dalam filsafat, filsafat bahasa, semantik, pragmatik, dan semiotika.
Selanjutnya, sejak tahun 2004, M. Yusin diamanahkan menjadi Sekretaris Majelis Adat Aceh Nenggeri Gayo (MAANGO), yang merupakan pengganti Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA), selain sebagai dosen di Gajah Putih Takengon. Sampai sejauh ini, M. Yusin telah menciptakan 300 sa’er dan didong Gayo. Karyanya hampir mencakup keseluruhan realitas kehidupan sosial masyarakat di tanoh Gayo, dan Aceh, mulai dari politik, ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, keamanan, sejarah, lingkungan hidup, dan perkembangan terkini Gayo & Aceh.
Gambaran budaya masyarakat Gayo, dan berbagai perubahan yang berlangsung di Aceh terekam dengan jelas dalam karyanya. Dalam mencipta, M. Yusin mengikuti suasana hatinya. Ketika suasana hatinya mendukung, karyanya pun mengalir dengan mudah, dan sebaliknya. Disamping itu, karya yang dihasilkan M. Yusin kaya akan fakta, dan bermuatan sejarah. Alur, nilai, dan validitas kebenaran sejarah dalam karyanya, dikemas dengan sastra Gayo yang tinggi, enak didengar, dan melekat di ingatan pendengarnya.
Dalam mengisi kegiatan pensiunnya, disamping mengajar di Gajah Putih Takengon, aktif dalam kepengurusan MAANGO, menjadi pembicara, M. Yusin mulai fokus meneliti, dan menulis soal adat, resam, peraturen, dan kebudayaan Gayo. Saat ini, M. Yusin sedang merampungkan penulisan buku perihal “Gramatika Bahasa Gayo,” yang isinya cukup ilmiah dengan pengalaman empiris langsung M. Yusin sebagai salah seorang “penutur tua” bahasa Gayo, pelaku & ceh sa’er, ceh didong, ditambah amatan yang sudah berlangsung lama. Bagi penulis, M. Yusin Saleh merupakan salah satu “Guru Besar Bahasa Gayo,” yang mana, kualitas dan kemampuannya soal bahasa Gayo tidak disangsikan lagi.
M Yusin Saleh sebagai narasumber Workshop Selamatkan DLT (22/11)
Sumber : http://tgj.co.id/detil-berita.php?id=3869
*Pemerhati Kebudayaan Gayo, dan Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Konsentrasi Ekolinguistik Universitas Sumatera Utara (USU) Medan
Di kalangan masyarakat Gayo, khususnya di Takengon, Aceh Tengah, nama M. Yusin Saleh tidak asing lagi. Selain di Takengon, dan tanoh Gayo, beliau dikenal pula di Bireuen, juga di lingkungan Dinas Perternakan Aceh. Selain sebagai mantan Kadis Perternakan, di tanoh Gayo, M. Yusin dikenal sebagai pelaku sa’er, dan didong pada kelop Ketimil. Sa’er, dan didong merupakan dua dari sepuluh sastra lisan yang dimiliki masyarakat Gayo. Sa’er berisi puisi yang bertemakan nilai-nilai religius, yang biasanya “dinyanyikan” bersama. Sementara itu, didong merupakan konfigurasi puisi, vokal, dan gerak dengan berbagai topik, muatan, dan simbol sosial. Putra pasangan M. Saleh dengan Siti Halimah ini, lahir di Kampung Bujang, Takengon, Propinsi Aceh, tanggal 19 September 1947. Nama M. Saleh yang melekat di ujung namanya, tidak lain adalah nama bapaknya (bahasa Gayo= ama e).
Yusin Saleh hanya memiliki satu saudara perempuan, yaitu Hatijah Saleh, yang merupakan kakak sulungnya. Setelah Yusin tumbuh dewasa, dia kemudian melangsungkan pernikahan dengan Armiyati KAZET, yang saat ini berprofesi sebagai guru kesenian SMP Negeri 1 Takengon. Dari hasil perkawinannya, mereka dianugerahi dua anak, yaitu Ariayu Maharona, S.T., alumni Teknik Sipil Institute Teknologi Medan (ITM), dan Eriyosayu Winarona.
Tahun 1959, M. Yusin memasuki Sekolah Rakyat di kota Takengon, dan selesai tahun 1960. Kemudian, melanjutkan sekolahnya ke SMP Negeri 1 Takengon, dan selesai tahun 1963. Tahun 1966, selesai lagi dari SMA Negeri 1 Takengong sekarang. M. Yusin melanjutkan kuliahnya dengan mengambil jurusan perternakan di Universitas Syiahkuala (Unsyiah) pada tahun 1967. Setahun berikutnya, M. Yasin memperoleh gelar sarjana muda. Tahun 1972, M. Yusin menyelesaikan S-1-nya dengan jurusan, dan dari universitas yang sama. M. Yusin meneruskan kembali studinya, ke jenjang S-2 di DILI, Jakarta, tahun 1991. Gelar MBA pun diraihnya pada tahun 1992. Selama menjadi mahasiswa di Universitas Syiahkuala, Banda Aceh, M. Yusin aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan, diantaranya, Senat Mahasiswa, dan Dewan Mahasiswa.
Setelah menyesaikan sarjana muda-nya, beliau bekerja sebagai pegawai negeri sipil. M. Yusin sempat menduduki Kepala Dinas Perternakan Biren, Kepala sekaligus Membangun Sekolah Pertanian & Perternakan (SPP) Biren, Kepala UPP SIE Asian Development Bank (ADB), Kepala UPT HM Ternak, Kasi Informasi Dinas Perternakan Propinsi Aceh, Kepala Dinas Perternakan Aceh Tengah tahun 1992-2002, Kepala Kesbang Limnas Aceh Tengah selama 16 bulan, Kepala Pembangunan Masyarakat Desa (PMD) Aceh Tengah, dan Kepala BAPELDALDA Aceh Tengah, dan pensiun tahun 2004. Saat yang bersamaan, M. Yusin ikut serta dalam Himpunan Keluarga Tani Indonesia (HKTI), dan Persatuan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI)
Saat bertugas di Takengon, M. Yusin tercatat sebagai salah seorang dosen Adat&Syari’at Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Muhammadiyah Aceh Tengah (STIHMAT) tahun 1996, dosen Adat&Syari’at Alwasliyah sejak tahun 2001 sampai 2004. M. Yusin juga mengasuh mata kuliah yang sama di Gajah Putih sejak tahun 1997 sampai sekarang. Juga, aktif di Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), Yayasan Pendidikan Islam (YPI) Takengon, Organisasi Muhammadiyah Aceh Tengah, dan LSM Peternak
Terkait dengan sastra lisan, M. Yusin terlibat dalam sa’er pada tahun 1957. Setahun kemudian, M. Yusin menjadi ceh sa’er. Pada saat itu, beliau biasa membawakan sa’er-sa’er yang diciptakan penya’er yang ada di Takengon. Terkait dengan didong, sejak tahun 1965, M. Yusin mulai ber-didong. Sejak kecil, khususnya saat ber-sa’er, M. Yusin terbiasa dengan pencarian makna. Dia kerap bertanya kepada dirinya sendiri, “Apa makna yang mewataki kata-kata yang diciptakan ceh-ceh?” dan “Apa alasan pemilihan kata tadi?”.
Tak jarang, ketika M. Yusin mengalami kebuntuan dalam pencarian makna tersebut, beliau langsung menemui, dan bertanya kepada pencipta sa’er, dan ceh didong yang bersangkutan. Salah satunya, ceh kenamaan Gayo, yaitu Sali Gobal. M. Yusin yang ketika itu masih anak-anak biasa berguru makna kepada Sali Gobal terkait kandungan makna dalam karya-karyanya. Dapat dikatakan, sejak awal keterlibatannya dalam sa’er, lalu didong, M. Yusin, secara tidak sadar, sudah membenamkan dirinya dalam filsafat, filsafat bahasa, semantik, pragmatik, dan semiotika.
Selanjutnya, sejak tahun 2004, M. Yusin diamanahkan menjadi Sekretaris Majelis Adat Aceh Nenggeri Gayo (MAANGO), yang merupakan pengganti Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA), selain sebagai dosen di Gajah Putih Takengon. Sampai sejauh ini, M. Yusin telah menciptakan 300 sa’er dan didong Gayo. Karyanya hampir mencakup keseluruhan realitas kehidupan sosial masyarakat di tanoh Gayo, dan Aceh, mulai dari politik, ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, keamanan, sejarah, lingkungan hidup, dan perkembangan terkini Gayo & Aceh.
Gambaran budaya masyarakat Gayo, dan berbagai perubahan yang berlangsung di Aceh terekam dengan jelas dalam karyanya. Dalam mencipta, M. Yusin mengikuti suasana hatinya. Ketika suasana hatinya mendukung, karyanya pun mengalir dengan mudah, dan sebaliknya. Disamping itu, karya yang dihasilkan M. Yusin kaya akan fakta, dan bermuatan sejarah. Alur, nilai, dan validitas kebenaran sejarah dalam karyanya, dikemas dengan sastra Gayo yang tinggi, enak didengar, dan melekat di ingatan pendengarnya.
Dalam mengisi kegiatan pensiunnya, disamping mengajar di Gajah Putih Takengon, aktif dalam kepengurusan MAANGO, menjadi pembicara, M. Yusin mulai fokus meneliti, dan menulis soal adat, resam, peraturen, dan kebudayaan Gayo. Saat ini, M. Yusin sedang merampungkan penulisan buku perihal “Gramatika Bahasa Gayo,” yang isinya cukup ilmiah dengan pengalaman empiris langsung M. Yusin sebagai salah seorang “penutur tua” bahasa Gayo, pelaku & ceh sa’er, ceh didong, ditambah amatan yang sudah berlangsung lama. Bagi penulis, M. Yusin Saleh merupakan salah satu “Guru Besar Bahasa Gayo,” yang mana, kualitas dan kemampuannya soal bahasa Gayo tidak disangsikan lagi.
M Yusin Saleh sebagai narasumber Workshop Selamatkan DLT (22/11)
Sumber : http://tgj.co.id/detil-berita.php?id=3869
Langganan:
Postingan (Atom)