Oleh: Yusradi Usman Al-Gayoni
(Harian Independe Aceh, 21 Desember 2008)
Tutur merupakan sistem panggilan yang ada dalam masyarakat Gayo. Suku ini sendiri merupakan suku pertama dan tertua yang mendiami Aceh (sekarang propinsi Nanggroe Aceh Darussalam). Mereka digolongkan pada kelompok melayu tua atau proto Melayu. Sebagai tambahan, daerah pesebarannya terdiri atas Takengon (kabupaten Aceh Tengah) & kabupaten Bener Meriah (Gayo Lut dan Gayo Deret), Gayo Lokop (Serbejadi, Aceh Timur), Gayo Kalul (pulo Tige, Aceh Tamiang), kabupaten Gayo Lues dan sebagian di kabupaten Aceh Tenggara (Gayo Lues) serta sebagian kecil di Aceh Selatan. Biasanya, orang Gayo yang ada di kabupaten Aceh Tenggara menyebut dirinya sebagai Gayo Alas. Hal ini tidak terlepas dari daerah kediamannya yang mayoritas didiami oleh suku Alas. Perbedaan-perbedaan penamaan tadi berkaitan erat dengan pesebaran dari suku-suku ini (Al-Gayoni, 2006: 8-11, 2007).
Abbas Pulungan dalam Sarakopat Sistem Pemerintahan Tanah Gayo dan Relevansinya Terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah (Syukri, 2006: 165) mendefinisikan tutur sebagai jalur penghubung untuk menguatkan ikatan kekerabatan. Sementara M.J. Melalatoa mengatakan bahwa tutur adalah tutur, sistem atau istilah kekerabatan (1985:406). Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Gayo kerap menggunakan tutur. Dengan kata lain, mereka berturur satu sama lain. A. R. Hakim Aman Pinan yang dikenal sebagai budayawan sepuh Gayo, membagi tutur ini menjadi 60 bentuk tutur (1998) dengan fungsi dan pemakaian yang berbeda-beda. Sementara Musfata Ak (Ketua Majelis Adat Aceh Nenggeri Gayo) membedakan tutur ini menjadi 63 bentuk tutur.
Pembagian bentuk tutur tersebut berkaitan erat dengan sistem atau bentuk keluarga yang ada pada masyarakat Gayo. Pecahan-pecahan tutur selanjutnya seperti yang disebutkan di atas, berasal dari dua sumber tutur utama yaitu dari pihak pedih (pihak keluarga laki-laki) dan ralik (pihak keluarga perempuan). Ama dan ine misalnya, pihak ama disebut sebagai pihak pedih, sementara dari pihak ine disebut dengan pihak ralik. Dengan begitu, tutur yang dipakai pun kemudian akan berbeda antara pihak pedih dan pihak ralik. Misalnya, panggilan abang dari pihak ama dan pihak ine. Untuk pihak ama, kita panggil dengan ama kul, ama lah, ama ucak atau ama ecek, sedangkan untuk pihak ine kita sapa dengan pun, dan lain-lain. Sebutan ama kul, ama lah dan ama ucak atau ama ecek tergantung pada kedudukan yang bersangkutan dalam keluarga. Untuk kasus ama tadi misalnya, disebut ama kul, dikarenakan ama kul merupakan abang dari ama (bapak), yang paling besar (ama = bapak, sedang kul=besar). Begitu juga halnya dengan ama lah dan ama ecek atau ama ucak, masing-masing berarti ama yang kedudukan berada antara yang sulung dan yang bungsu serta adik bapak yang bungsu.
Pemakaian tutur di atas menunjukkan tingkat kesantunan berbahasa yang dimiliki oleh suku ini. Pemakaian bentuk tutur yang digunakan bergantung pada umur, kedudukan, aliran daerah dan hubungan kekeluargaan dari lawan tutur yang dihadapi penutur. Misalnya saja, seorang anak memanggil orang tuanya, dalam hal ini bapaknya dengan panggilan ama dan ibunya dengan panggilan ine. Bentuk-bentuk tutur ini juga merupakan gambaran dari nilai-nilai agama Islam yang terkandung dalam adat istiadat masyarakat Gayo. Dalam kaitan ini, ada dalam bentuk tutur yang digunakan (Q.S. 4:8,9,63, 17:23, 28 dan 20:44, Murni: 2008). Selain menggambarkan kesantunan linguistik (kesantunan berbahasa) baik dari sudut pandang agama maupun dari sisi adat istiadat Gayo, tutur ini juga menunjukkan kedudukan seseorang atau lawan tutur dalam sebuah keluarga. Ungel misalnya, dia merupakan anak satu-satunya yang ada dalam keluarga. Contoh lain, sulu bere atau anak sulung, merupakan anak yang paling besar atau pertama lahir dalam keluarga. Lebih dari itu, melalui tutur ini yang dikaitkan dengan psikologi, kita dapat mengetahui kepribadian seseorang. Pada akhirnya, pemakaian bentuk tutur yang baik dan benar akan mendatangkan keharmonisan dalam sebuah keluarga dan masyarakat (Mustafa Ak, 2008). Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa bentuk dan pemakaian tutur ini merupakan gambaran dari cara pandang, sikap, karakter dan cerminan nilai-nilai agama Islam dan adat istiadat Gayo itu sendiri.
Akan tetapi, dewasa ini, pemakaian tutur ini sudah kurang dipakai dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat Gayo terutama yang ada di Takengon (kabupaten Aceh Tengah) dan kabupaten Bener Meriah. Kurang atau tidak dipakainya tutur ini disebabkan karena sikap berbahasa penutur bahasa Gayo. Sebagian pentutur bahasa ini lebih cenderung memakai dan menggantikan bentuk tutur ini dengan kata lain dari bahasa lain. Pemakaian kata ama dan ine misalnya, kini penutur bahasa Gayo lebih menggunakan kata bapak dan mamak yang erat pengaruhnya dengan bahasa Indonesia. Penggantian tersebut dikarenakan kata-kata pengganti tersebut dianggap lebih prestisius. Begitu juga halnya dengan pemakaian ibi, kil dan lain-lain, kerap digunakan dalam bentuk pemakaian yang salah. Perubahan penggunaan ini dipengaruhi pula oleh perkembangan teknologi, informasi dan globalisasi. Dengan demikian, terjadi perubahan dan pergeseran nilai dalam masyarkat Gayo termasuk dalam bebahasa khususnya pemakaian tutur tadi.
Selanjutnya, terjadinya interaksi budaya dalam masyarakat ini. Misalnya saja, terjadi perwakinan silang antara suku ini dengan suku-suku lainnya. Di Takengon dan Bener Meriah sendiri, didiami oleh lebih dari delapan etnik grup; Gayo, Aceh, Jawa, Padang, Cina, Karo, Batak, Sunda, dan lain-lain yang dengan demikian memungkinkan terjadinya interaksi budaya. Disamping itu, sekarang sudah jarang terjadi transfer pengalaman dan pengetahuan berbahasa dari penutur yang lebih tua kepada yang muda. Istilah lain, kita menyebutnya dengan pembelajaran berbahasa Gayo. Dulunya, bentuk pembelajaran ini disampaikan melalui kekeberen, salah satu sastra lisan Gayo. Sebagai akibatnya, terjadi alih pengalaman, pembelajaran moral dan bahasa kepada penutur yang lebih muda. Akan tetapi, kekeberen ini, sekarang tidak lagi berperan dikarenakan jumlah pelakunya yang mulai terbatas atau usia lanjut, ketidakmampuan orang-orang tua (yang sekarang) dalam melakukan kekeberen dan perannya sudah digantikan dengan kehadiran teknologi tadi.
Disamping pembelajaran berbahasa secara informal dan secara tidak langsung di atas (melalui kekeberen), bahasa Gayo dalam praktinya, yang di dalamnya termasuk pembelajaran prihal tutur tadi kurang diajarkan melalui lembaga pendidikan. Pengalaman penulis sendiri, ketika masih SLTP, waktu itu sempat dipelajari bahasa Gayo di kelas satu dan kelas dua. Begitu juga halnya, untuk anak-anak SD yang sekarang, penulis mendengar mereka sudah diajarkan bahasa Gayo. Akan tetapi, pembelajaran bahasa Gayo yang ada masih bersifat terbatas. Tanpa ada upaya untuk mendalami secara lebih, nilai-nilai filsafat yang terkandung dalam bahasa tersebut, seperti kandungan nilai-nilai dari bentuk-bentuk tutur tadi misalnya. Selain itu, upaya pembelajaran ini terhenti hanya sampai pendidikan dasar dan menengah pertama, itu pun hanya sampai kelas dua (pengalaman penulis), tanpa ada tindak lanjut yang berkelanjutan. Tentunya, pembelajaran berbahasa ini terkait langsung dengan perencanaan dan kebijakan berbahasa pemerintah daerah setempat, yang menurut penulis masih sangat kurang. Barangkali terbatasnya perencanaan dan kebijakan berbahasa tadi terkait pula dengan minimnya orang-orang bahasa di pemerintahan dan dinas pendidikan di kedua kabupaten (kabupaten Aceh Tengah dan kabupaten Bener Meriah).
Dengan melihat paparan di atas, sebagai bagian dari sistem sosial masyarakat Gayo, ditambah pentingnya fungsi dan peran tutur ini, penggunaan tutur ini perlu diajarkan baik secara formal maupun tidak formal, langsung dan tidak langsung, digunakan dan dipertahankan pemakaiannya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Gayo terutama yang mendiami Takengon (kabupaten Aceh Tengah) dan kabupaten Bener Meriah. Sebagai akibatnya, pemertahanan identitas sosial akan terjadi dan mendorong terciptanya harmonisasi dalam masyarakat.
Referensi
Al Gayoni, Yusradi Usman. 2006. The Use of Vernacular Language Among the Gayo Students of North Sumatera University. Medan: English Department
Al Gayoni, Yusradi Usman. Bahasa Gayo: Sejarah, Perkembangan & Identitas Akhir Orang Gayo (2007)
Al Gayoni, Yusradi Usman. Bahasa Gayo? (2006)
Aman Pinan, A.R. Hakim. 1998. Hakikat Nilai – Nilai Budaya Gayo Aceh Tengah. Takengon: Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah
Melalatoa, M.J. 1985. Kamus Bahasa Gayo – Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Murni, Sri Minda. 2008. Kesantunan Linguistik Dalam Ranah Sidang Dewan Perwakilan Daerah Sumatera Utara. Medan: Program Studi Linguistik Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Mustafa Ak. Tutur dan Keharmonisan Dalam Rumah Tangga (2008)
Syukri. 2006. Sarakopat Sistem Pemerintahan Tanah Gayo dan Relevansinya Terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah. Jakarta: Hijir Pustaka Utama
Watts, Richard J. 2003. Key Topics in Sociolinguistics Politeness. United Kingdom: Cambridge University Press
Watts, Richard J. 2005. Politeness in Language Studies in its History, Theory and Practice. Germany: Die Deutsche Bibliothek
Senin, 30 Maret 2009
Didong: Sarana Pembelajaran dan Pemertahanan Bahasa Gayo
Oleh: Yusradi Usman Al-Gayoni
(Tabloid Ara News, Edisi II Februari 2009)
Didong merupakan salah satu kesenian tradisional yang terdapat pada masyarakat Gayo. Didong dimainkan dengan perpaduan seni sastra, seni suara dan seni tari, yang merupakan hasil olah pikir dan rasa daripada ceh yang ada dalam kelop didong (grup atau kelompok didong). Dalam didong, terdapat seorang ceh (vokalis dalam didong), apit (pendamping ceh) dan penunung (pengikut saat refrain terjadi) yang terdiri dari 10 sampai 15 orang. Kesenian ini dikelompokkan sebagai satu diantara sepuluh sastra lisan yang dimiliki suku ini (urang, orang Gayo). Sampai hari ini, didong kerap dipertunjukkan oleh masyarakat Gayo terutama yang mendiami kabupaten Aceh Tengah dan kabupaten Bener Meriah. Dengan perkataan lain, keberadaan didong masih ada dan kerap dipraktekan dalam masyarakat ini. Bahkan, dalam khasanah tradisi lisan Indonesia, didong merupakan salah satu sastra lisan yang masih bertahan sampai sekarang, sama halnya dengan wor bagi masyarakat Biak, propinsi Irian Jaya (Simbolon, 1999: 86&88)
Perlu diketahui, selain di dua kabupaten di atas, masyarakat Gayo lainnya tersebar di beberapa titik persebaran di Aceh seperti Serbejadi, Aceh Timur; Pulo Tige kabupaten Aceh Tamiang; kabupaten Gayo Lues; kabupaten Aceh Tenggara dan sebagian kecil di Aceh Selatan. Namun, didong lebih berkembang di dua kabupaten pertama yaitu kabupaten Aceh Tengah (Takengon) dan kabupaten Bener Meriah (Bener Meriah).
Arti dan Sejarah Didong
Drs. Mukthaman Bale dalam Syariat & Adat Istiadat III, didong berasal dari seni tari dan sastra, dilengkapi dengan beberapa instrument tradisional, yang dilakukan oleh Sengeda ketika membangunkan gajah putih dari perbaringannya yang hendak menuju pusat kerajaan Aceh di Banda Aceh. Pengikut Sengeda yang mengikuti perjalanan gajah putih dari nenggeri Lingga ke ujung Aceh mengalunkan lagu dengan kata-kata: enti dong, enti dong, enti dong, artinya jangan berhenti, jalan terus (Mahmud Ibrahim, 2005:232). Melalatoa, antrofolog Universitas Indonesia mengkaitkan etimologi didong ini dengan beberapa kosa kata dalam bahasa Gayo seperti denang atau donang (dendang dalam bahasa Indonesia). Namun, didong memuat pengertian yang lebih luas (2001: 9). Sali Gobal, dalam liriknya lagu mendefinisikan didong sebagai kesenian orang Gayo, “didong didong didong do didong ni, didong ko kin seni ni urang Gayo ni.” Artinya, didong didong duh didong, didong kau seni orang Gayo (Gobal dalam Melalatoa)
Garin Nugroho mendefiniskan didong sebagai perpustakaan hidup yang mampu menggambarkan bagaimana komunitas Gayo berpikir, menanggapi, bereaksi dalam proses kebudayaan. Lewat tradisi lisan didong ini, kita bisa membaca berbagai peristiwa kehidupan (banjir, kebakaran, tanah longsor) yang menjadi penanda sejarah masyarakat tersebut. Didong juga merefleksikan hubungan-hubungan individu manusia Gayo dengan alamnya, manusia lain dan perubahan di sekitarnya, termasuk proses politik itu sendiri. Lebih penting lagi, didong adalah refleksi manusia Gayo yang terbuka dengan perubahan nilai-nilai kompetitifnya (dalam Melalatoa, 2001: viii)
Munculnya kesenian didong ini berkaitan erat dengan keberadaan kerajaan Linge di Takengon dan kesultanan Aceh, di pesisir Aceh. Pada waktu itu, Sengeda yaitu anak reje, raja Linge ke-13 bermimpi bertemu dengan abang kandungnya (Bener Meriah) yang meninggal karena aksi pembunuhan yang dilakukan oleh raja Linge ke-14. Dalam aksi pembunuhan tadi, Sengeda tidak langung dibunuh oleh Cik Serule atas perintah raja Linge ke-14. Dia kasihan melihat anak reje Linge tersebut. Cik Serule sendiri merupakan perdana menteri kerajaan Linge ke-14. Sebagai gantinya, Cik Serule membunuh kucing dan dikuburkan menyerupai kubur manusia. Dengan demikian, raja Linge ke-14 beranggapan bahwa Sengeda juga sudah meninggal seperti abangnya, Bener Meriah. Melalui mimpi tersebut, Bener Meriah memberi petunjuk bagaimana cara menemukan sekaligus mengiring gajah tersebut untuk dibawa dan dipersembahkan kepada sultan Aceh Darussalam guna memenuhi permintaan putrinya. Permintaan putri tersebut berawal saat Sengeda yang dibawa Cik Serule pada sidang tahunan yang berlangsung di kesultanan Aceh yang mana Sengeda melukiskan gambar gajah tersebut pada sebuah “neniyun” (pelepah rebung bambu).
Setelah selesai membuat gambar gajah putih, Sengeda pun memain-mainkan gambar tersebut dengan memanfaatkan cahaya matahari. Akibatnya, pantulan cahaya tersebut mengundang perhatian putri sultan dan selanjutnya sang putri mendekati Sengeda untuk meminta penjelasan lebih banyak prihal gajah putih tersebut. Sengeda lalu menjelaskan bahwasanya gajah putih tersebut hanya ada di hutan Linge, sekitar kerajaan Linge. Pada akhirnya, putri meminta kepada ayahnya, sultan Aceh untuk menghadirkan gajah putih tersebut dengan bantuan Sengeda dan Cik Serule. Kini, gajah putih diabadikan sebagai simbol kodam Iskadar Muda dan Universitas Gajah Putih Takengon serta dijadikan nama kabupaten Bener Meriah, propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Fungsi Didong
Didong berfungsi sebagai sarana hiburan yang dipentaskan semalan suntuk, biasanya berlangsung dari jam sembilan malam sampai sebelum shalat subuh. Selain itu, didong kerap dipertunjukkan dalam acara-acara perkawinan, peyambutan tamu-tamu daerah dan pentas seni dan budaya baik di Aceh maupun di luar Aceh, dan lain-lain. Ada juga yang disebut dengan didong jalu yaitu jenis didong yang sifatnya diperlombakan (jalu = adu, lomba atau tanding) antara kelop satu satu kelop lainnya.
Dalam bukunya “Didong Pentas Kreativitas Gayo,” Prof. M. Junus Melalatoa menyebutkan beberapa fungsi didong, yaitu (1) fungsi hiburan, (2) fungsi pemenuhan kebutuhan akan keindahan dan estetika, (3) pelestari budaya, (4) pencari dana sosial, (5) sarana penerangan, (6) kritik dan kontrol sosial, dan (7) wahana mempertahankan struktur sosial (2001: 57). Dalam bukunya yang sama, Melalatoa juga menyebut didong sebagai “teater muda” atau “teater kehidupan.”
Dalam tulisan ini, didong akan dilihat sebagai salah satu media pembelajaran dan pemertahanan bahasa Gayo. Sebagai media pembelajaran, paling tidak ada dua pelaku yang harus dipenuhi yakni yang mengajarkan dan yang belajar (pembelajar bahasa Gayo). Pihak pertama (teacher) diperankan oleh ceh, apit dan penunung melalui karya-karya yang disuguhkan. Sedangkan pihak kedua (pembelajar atau learner) dilakukan oleh pendengar atau penonton saat didong dipertunjukkan atau dilombakan. Ketika kesenian ini ditampilkan, akan terjadi proses pembelajaran bahasa Gayo (language learning). Ceh dan anggtotanya menampilkannya dalam bentuk sair-sair yang dinyanyikan yang diiringi dengan tepukan tangan serta bantal kecil yang dipadukan dengan gerakan-gerakan tubuh yang semakin menambah nilai artistik dan estetika dari didong.
Dalam karya Daman (kelop Dewantara) dengan tajuk aman misalnya, aman aman mi aman dunien te aman (aman aman aman semoga dunia kita senantiasa dalam keadaan aman). Aman mi aman le enti ne gabuk (aman semoga dunia kita tetap aman, tidak ada lagi kerusuhan, konflik dan perang). Kasih enti laneh, sayang enti lelang (bila kasih janganlah terlambat, bila sayang jangan pula setengah hati). Ini jari ku tatang, ulu ku pe ku tungkuk (ku memohon dengan sepuluh jari tangan, kepala pun ku tunduk-kan). Ke mangas berbebalun (bila makan sirih ada bebalun), ke ampang berkewarang (sebaliknya, dalam ampang terdapat kerawang). Gere male ku tatang (bukannya mau saya puji), gere male ku bujuk (tidak pula saya membujuk). Aman aman mi aman ko dunie aman (aman aman aman semoga dunia kita senantiasa dalam keadaan aman). Aman mi aman le enti ne gabuk (aman semoga dunia kita tidak lagi rusuh, ada konflik dan perang). Kerna letih mungilih, kejang nangkok pematang (karena sudah letih menuruni dan menaiki pematang, naik turun gunung). Geh berdiang ku ujung ni tanuk (datang bermain-main ke ujung tanduk). Enti nyawa berpasang ku ujung ni pedang (jangan tempatkan nyawa di ujung pedang)...
Melalui lirik lagu aman di atas, kita dapat mengetahui seorang ceh Daman yang humanis dengan muatan bahasa sastra yang tinggi dan berbagai simbol yang dilukiskan melalui karyanya bahwa Daman, masyarakat Gayo dan Aceh ketika itu merindukan ketenangan, kedamaian karena bertahun-tahun Aceh khusus tanoh Gayo dilanda suasana tak aman, dalam hal ini pecahnya DI TII tahun 1953 yang salah satu tokohnya dari tanoh Gayo adalah Tengku Ilyas Leube (kepercayaan Tengku Muhammad Daud Beureueh). Karyanya ini juga menembus ruang dan waktu, yang tidak hanya terbatas pada wilayah geogratif tanoh Gayo, Aceh dan tahun pecahnya DI TII namun membawa pesan global agar dunia kita senantiasa damai, tidak ada kerusuhan, konflik dan perang.
Dengan demikian, pendengar atau penonton lebih mudah memahami dan merasakan apa yang dimaksudkan ceh tadi. Seolah pelaku diluar ceh dan anggotanya diajak bertualang merasakan dan mengalami sendiri apa mereka sampaikan. Selain itu, agar proses pembelajaran dimaksud terjadi, pendengar atau penonton (audience) harus memahami bahasa Gayo. Dikarenakan, di dalam didong terkandung nilai-nilai sastra yang tinggi, penuh dengan metapor, tamsil, sarat dengan pembelajaran moral dan mengandung nilai-nilai filosofis yang mengajak audience-nya untuk berfikir (berfilsafat) seperti dalam lirik aman karya Daman di atas. Paling tidak, audience mengerti bahasa Gayo sehari-hari sebelum menyentuh wilayah yang lebih dalam dari didong.
Selanjutnya, didong berfungsi sebagai sarana pemertahanan bahasa Gayo (language maintance). Seperti yang disampaikan sebelumnya, didong merupakan salah satu sastra lisan yang masih tetap bertahan dalam masyarakat Gayo. Dengan begitu, melalui kesenian tradisional ini, pendengar atau penonton (learner, pembelajar bahasa Gayo) dikenalkan khususnya dengan bahasa, adat istiadat, sejarah dan kebudayaan Gayo. Dikarenakan, menurut perkiraan, bahasa ini (bahasa Gayo) akan punah 50 tahun mendantang (Al Gayoni, Serambi Indonesia, 14 Juli 2006). Pada akhirnya, melalui didong ini akan terjadi pemertahan bahasa Gayo itu sendiri.
(Tabloid Ara News, Edisi II Februari 2009)
Didong merupakan salah satu kesenian tradisional yang terdapat pada masyarakat Gayo. Didong dimainkan dengan perpaduan seni sastra, seni suara dan seni tari, yang merupakan hasil olah pikir dan rasa daripada ceh yang ada dalam kelop didong (grup atau kelompok didong). Dalam didong, terdapat seorang ceh (vokalis dalam didong), apit (pendamping ceh) dan penunung (pengikut saat refrain terjadi) yang terdiri dari 10 sampai 15 orang. Kesenian ini dikelompokkan sebagai satu diantara sepuluh sastra lisan yang dimiliki suku ini (urang, orang Gayo). Sampai hari ini, didong kerap dipertunjukkan oleh masyarakat Gayo terutama yang mendiami kabupaten Aceh Tengah dan kabupaten Bener Meriah. Dengan perkataan lain, keberadaan didong masih ada dan kerap dipraktekan dalam masyarakat ini. Bahkan, dalam khasanah tradisi lisan Indonesia, didong merupakan salah satu sastra lisan yang masih bertahan sampai sekarang, sama halnya dengan wor bagi masyarakat Biak, propinsi Irian Jaya (Simbolon, 1999: 86&88)
Perlu diketahui, selain di dua kabupaten di atas, masyarakat Gayo lainnya tersebar di beberapa titik persebaran di Aceh seperti Serbejadi, Aceh Timur; Pulo Tige kabupaten Aceh Tamiang; kabupaten Gayo Lues; kabupaten Aceh Tenggara dan sebagian kecil di Aceh Selatan. Namun, didong lebih berkembang di dua kabupaten pertama yaitu kabupaten Aceh Tengah (Takengon) dan kabupaten Bener Meriah (Bener Meriah).
Arti dan Sejarah Didong
Drs. Mukthaman Bale dalam Syariat & Adat Istiadat III, didong berasal dari seni tari dan sastra, dilengkapi dengan beberapa instrument tradisional, yang dilakukan oleh Sengeda ketika membangunkan gajah putih dari perbaringannya yang hendak menuju pusat kerajaan Aceh di Banda Aceh. Pengikut Sengeda yang mengikuti perjalanan gajah putih dari nenggeri Lingga ke ujung Aceh mengalunkan lagu dengan kata-kata: enti dong, enti dong, enti dong, artinya jangan berhenti, jalan terus (Mahmud Ibrahim, 2005:232). Melalatoa, antrofolog Universitas Indonesia mengkaitkan etimologi didong ini dengan beberapa kosa kata dalam bahasa Gayo seperti denang atau donang (dendang dalam bahasa Indonesia). Namun, didong memuat pengertian yang lebih luas (2001: 9). Sali Gobal, dalam liriknya lagu mendefinisikan didong sebagai kesenian orang Gayo, “didong didong didong do didong ni, didong ko kin seni ni urang Gayo ni.” Artinya, didong didong duh didong, didong kau seni orang Gayo (Gobal dalam Melalatoa)
Garin Nugroho mendefiniskan didong sebagai perpustakaan hidup yang mampu menggambarkan bagaimana komunitas Gayo berpikir, menanggapi, bereaksi dalam proses kebudayaan. Lewat tradisi lisan didong ini, kita bisa membaca berbagai peristiwa kehidupan (banjir, kebakaran, tanah longsor) yang menjadi penanda sejarah masyarakat tersebut. Didong juga merefleksikan hubungan-hubungan individu manusia Gayo dengan alamnya, manusia lain dan perubahan di sekitarnya, termasuk proses politik itu sendiri. Lebih penting lagi, didong adalah refleksi manusia Gayo yang terbuka dengan perubahan nilai-nilai kompetitifnya (dalam Melalatoa, 2001: viii)
Munculnya kesenian didong ini berkaitan erat dengan keberadaan kerajaan Linge di Takengon dan kesultanan Aceh, di pesisir Aceh. Pada waktu itu, Sengeda yaitu anak reje, raja Linge ke-13 bermimpi bertemu dengan abang kandungnya (Bener Meriah) yang meninggal karena aksi pembunuhan yang dilakukan oleh raja Linge ke-14. Dalam aksi pembunuhan tadi, Sengeda tidak langung dibunuh oleh Cik Serule atas perintah raja Linge ke-14. Dia kasihan melihat anak reje Linge tersebut. Cik Serule sendiri merupakan perdana menteri kerajaan Linge ke-14. Sebagai gantinya, Cik Serule membunuh kucing dan dikuburkan menyerupai kubur manusia. Dengan demikian, raja Linge ke-14 beranggapan bahwa Sengeda juga sudah meninggal seperti abangnya, Bener Meriah. Melalui mimpi tersebut, Bener Meriah memberi petunjuk bagaimana cara menemukan sekaligus mengiring gajah tersebut untuk dibawa dan dipersembahkan kepada sultan Aceh Darussalam guna memenuhi permintaan putrinya. Permintaan putri tersebut berawal saat Sengeda yang dibawa Cik Serule pada sidang tahunan yang berlangsung di kesultanan Aceh yang mana Sengeda melukiskan gambar gajah tersebut pada sebuah “neniyun” (pelepah rebung bambu).
Setelah selesai membuat gambar gajah putih, Sengeda pun memain-mainkan gambar tersebut dengan memanfaatkan cahaya matahari. Akibatnya, pantulan cahaya tersebut mengundang perhatian putri sultan dan selanjutnya sang putri mendekati Sengeda untuk meminta penjelasan lebih banyak prihal gajah putih tersebut. Sengeda lalu menjelaskan bahwasanya gajah putih tersebut hanya ada di hutan Linge, sekitar kerajaan Linge. Pada akhirnya, putri meminta kepada ayahnya, sultan Aceh untuk menghadirkan gajah putih tersebut dengan bantuan Sengeda dan Cik Serule. Kini, gajah putih diabadikan sebagai simbol kodam Iskadar Muda dan Universitas Gajah Putih Takengon serta dijadikan nama kabupaten Bener Meriah, propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Fungsi Didong
Didong berfungsi sebagai sarana hiburan yang dipentaskan semalan suntuk, biasanya berlangsung dari jam sembilan malam sampai sebelum shalat subuh. Selain itu, didong kerap dipertunjukkan dalam acara-acara perkawinan, peyambutan tamu-tamu daerah dan pentas seni dan budaya baik di Aceh maupun di luar Aceh, dan lain-lain. Ada juga yang disebut dengan didong jalu yaitu jenis didong yang sifatnya diperlombakan (jalu = adu, lomba atau tanding) antara kelop satu satu kelop lainnya.
Dalam bukunya “Didong Pentas Kreativitas Gayo,” Prof. M. Junus Melalatoa menyebutkan beberapa fungsi didong, yaitu (1) fungsi hiburan, (2) fungsi pemenuhan kebutuhan akan keindahan dan estetika, (3) pelestari budaya, (4) pencari dana sosial, (5) sarana penerangan, (6) kritik dan kontrol sosial, dan (7) wahana mempertahankan struktur sosial (2001: 57). Dalam bukunya yang sama, Melalatoa juga menyebut didong sebagai “teater muda” atau “teater kehidupan.”
Dalam tulisan ini, didong akan dilihat sebagai salah satu media pembelajaran dan pemertahanan bahasa Gayo. Sebagai media pembelajaran, paling tidak ada dua pelaku yang harus dipenuhi yakni yang mengajarkan dan yang belajar (pembelajar bahasa Gayo). Pihak pertama (teacher) diperankan oleh ceh, apit dan penunung melalui karya-karya yang disuguhkan. Sedangkan pihak kedua (pembelajar atau learner) dilakukan oleh pendengar atau penonton saat didong dipertunjukkan atau dilombakan. Ketika kesenian ini ditampilkan, akan terjadi proses pembelajaran bahasa Gayo (language learning). Ceh dan anggtotanya menampilkannya dalam bentuk sair-sair yang dinyanyikan yang diiringi dengan tepukan tangan serta bantal kecil yang dipadukan dengan gerakan-gerakan tubuh yang semakin menambah nilai artistik dan estetika dari didong.
Dalam karya Daman (kelop Dewantara) dengan tajuk aman misalnya, aman aman mi aman dunien te aman (aman aman aman semoga dunia kita senantiasa dalam keadaan aman). Aman mi aman le enti ne gabuk (aman semoga dunia kita tetap aman, tidak ada lagi kerusuhan, konflik dan perang). Kasih enti laneh, sayang enti lelang (bila kasih janganlah terlambat, bila sayang jangan pula setengah hati). Ini jari ku tatang, ulu ku pe ku tungkuk (ku memohon dengan sepuluh jari tangan, kepala pun ku tunduk-kan). Ke mangas berbebalun (bila makan sirih ada bebalun), ke ampang berkewarang (sebaliknya, dalam ampang terdapat kerawang). Gere male ku tatang (bukannya mau saya puji), gere male ku bujuk (tidak pula saya membujuk). Aman aman mi aman ko dunie aman (aman aman aman semoga dunia kita senantiasa dalam keadaan aman). Aman mi aman le enti ne gabuk (aman semoga dunia kita tidak lagi rusuh, ada konflik dan perang). Kerna letih mungilih, kejang nangkok pematang (karena sudah letih menuruni dan menaiki pematang, naik turun gunung). Geh berdiang ku ujung ni tanuk (datang bermain-main ke ujung tanduk). Enti nyawa berpasang ku ujung ni pedang (jangan tempatkan nyawa di ujung pedang)...
Melalui lirik lagu aman di atas, kita dapat mengetahui seorang ceh Daman yang humanis dengan muatan bahasa sastra yang tinggi dan berbagai simbol yang dilukiskan melalui karyanya bahwa Daman, masyarakat Gayo dan Aceh ketika itu merindukan ketenangan, kedamaian karena bertahun-tahun Aceh khusus tanoh Gayo dilanda suasana tak aman, dalam hal ini pecahnya DI TII tahun 1953 yang salah satu tokohnya dari tanoh Gayo adalah Tengku Ilyas Leube (kepercayaan Tengku Muhammad Daud Beureueh). Karyanya ini juga menembus ruang dan waktu, yang tidak hanya terbatas pada wilayah geogratif tanoh Gayo, Aceh dan tahun pecahnya DI TII namun membawa pesan global agar dunia kita senantiasa damai, tidak ada kerusuhan, konflik dan perang.
Dengan demikian, pendengar atau penonton lebih mudah memahami dan merasakan apa yang dimaksudkan ceh tadi. Seolah pelaku diluar ceh dan anggotanya diajak bertualang merasakan dan mengalami sendiri apa mereka sampaikan. Selain itu, agar proses pembelajaran dimaksud terjadi, pendengar atau penonton (audience) harus memahami bahasa Gayo. Dikarenakan, di dalam didong terkandung nilai-nilai sastra yang tinggi, penuh dengan metapor, tamsil, sarat dengan pembelajaran moral dan mengandung nilai-nilai filosofis yang mengajak audience-nya untuk berfikir (berfilsafat) seperti dalam lirik aman karya Daman di atas. Paling tidak, audience mengerti bahasa Gayo sehari-hari sebelum menyentuh wilayah yang lebih dalam dari didong.
Selanjutnya, didong berfungsi sebagai sarana pemertahanan bahasa Gayo (language maintance). Seperti yang disampaikan sebelumnya, didong merupakan salah satu sastra lisan yang masih tetap bertahan dalam masyarakat Gayo. Dengan begitu, melalui kesenian tradisional ini, pendengar atau penonton (learner, pembelajar bahasa Gayo) dikenalkan khususnya dengan bahasa, adat istiadat, sejarah dan kebudayaan Gayo. Dikarenakan, menurut perkiraan, bahasa ini (bahasa Gayo) akan punah 50 tahun mendantang (Al Gayoni, Serambi Indonesia, 14 Juli 2006). Pada akhirnya, melalui didong ini akan terjadi pemertahan bahasa Gayo itu sendiri.
A.R. Moese: Musisi Tanoh Gayo, Aceh
Oleh: Yusradi Usman Al-Gayoni
(Penulis Buku Biografi A. R. Moese)
Nama Abdur Rahman Moese tentu tidak asing lagi dalam dunia musik di Aceh. A. R. Moese memiliki nama asli Abu Musa Azhari dan kerap disapa dengan Moese atau Acong. Namun, nama A. R. Moese kemudian lebih sering dipakai dibandingkan Abu Moese Azhari. Moese dilahirkan di Kampung Baru, Takengon Timur, Aceh Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), tanggal 29 April 1939 dari pasangan Tengku. H. Sabdin dan Hj Sri Banun. Moese sendiri merupakan anak tertua laki laki dari sebelas bersaudara; Seri Jemat, Kelementina, Asmah, Sadimah, Jemilah, M. Syarif, Rukayah, Rosdah, Lindawati dan Mursyid.
Sejak kecil, Moese sudah menyukai musik. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh bapaknya tengku Sabdin, tokoh dan pelaku saman di kabupaten Gayo Lues. Selain itu, Tengku Sabdi mendalami syair saat kembali ke tanah leluhurnya, Takengon. Bersama saudara peremuannya; Sadimah dan Jalimah, Moese belajar olah vokal dari awan alik ke, bapak ibunya, Huria Panggabean. Saat sekolah di SMP Negeri 1 Takengon, Moese mulai belajar musik persisnya belajar instrumen. Pada 1953, Moese bergabung dengan kelompok musik Sadar yang diasuh oleh Ismail Mai. Moese mulai mempelajari not balok dalam kelompok ini, selain kakak kandungnya yang mengajar pada Sekolah Guru Bawah (SGB) B Takengon. Dalam Sadar, Moese dipercaya sebagai vokalis dengan suara tenor yang dimilikinya.
Pertama kali, tahun 1954, Moese mulai menciptakan lagu dengan judul garepo dan melati. Tahun 1957, Moese kemudian menciptakan Tawar Sedenge (penawar dunia) yang pada akhirnya ditetapkan sebagai lagu wajib daerah ‘semacam lagu kebangsaan bagi orang Gayo’ pada masa bupati Drs. H. Mustafa M. Tamy, MM. Konsekuensinya, Tawar Sedenge kerap dinyanyikan setelah lagu Indonesia Raya dalam berbagai acara formal kedaerahan dan di luar Aceh. Terkai dengan mencipta dan menggubah lagu, Moese telah menciptakan lebih dari 60 lagu berbahasa Gayo dan bahasa Indonesia termasuk gubahan lagu-lagu Gayo dan Aceh. Biasanya lagu-lagu yang digubah Moese akan popular di kalangan penikmat dan pecinta musik di Aceh.
Tahun 1958, Moese bergabung dengan tim kesenian kabupaten Aceh Tengah dalam rangka Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) I di Kota Raja (sekarang Banda Aceh). Dalam PKA itu, tim PKA kabupaten Aceh Tengah tampil sebagai juara umum. Untuk bidang musik, Moese tampil sebagai tokoh utama ketika itu. Pada saat yang sama, Radio Republik Indonesia (RRI) Banda Aceh memutar lagu lagu Moese seperti tangke ni ate, garip dan renggali. Bahkan, dalam kesempatan lain, lagu garip tadi pernah dinyanyikan oleh Kus Hendratmo di alun-alun Yogyakarta. Pada tahun yang sama, Moese bersama tim tari punca utama mewakili Aceh dalam pementasan kesenian pada acara kongres pemuda pertama di Bandung, Oktober 1958. Tari punca utama merupakan perpaduan tiga tari sekaligus yaitu tari resam berume, top pade dan tarik pukat. Dalam hal ini, Moese bertugas sebagai penyanyi. Selanjutnya, Moese bersama penari punca utama melakukan pementasan di Istana Bogor di hadapan presiden Sukarno dan pemerintahannya saat itu. Saat itulah, presiden Sukarno mengapresiasi bakat, kemampuan dan kualitas vokal yang dimiliki oleh seniman besar Gayo ini.
Dalam hal pendidikan, Moese berhasil menamatkan sekolahnya di Sekolah Perikatan Darat Yogyakarta. Setelah itu, Moese sempat berkerja di Sukabumi, Takengon (Aceh Tengah) dan Aceh Singkil). Namun, pekerjaan tersebut ditinggalkannya karena kecintaannya terhadap musik. Untuk itu, Moese meneruskan studinya ke Akademi Musik Indonesia (AMI), di Yogyakarta. Di AMI, Moese dapat dengan mudah memahami not balok dan not angka. Cukup disayangkan Moese tidak dapat menyelesaikan studinya karena sakit. Alhasil, Moese pindah ke Jakarta, tahun 1970. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dia sempat menjadi supir omperangan. Disamping itu, Moese bergabung dengan orkes tetap segar dibawah pimpinan Jenderal Polisi Hugeng dengan Idris Sardi dan lain-lain. Dalam orkes tetap segar, Moese dipercaya memainkan biola. Orkes ini kerap ditayangkan di TVRI sebulan sekali dengan membawakan lagu-lagu Indonesia dan keroncong. Saat yang sama pula, Moese merupakan salah satu pemain biola dan aktif di Lembaga Kebudayaan Gayo Alas, di Jakarta.
Saat kembali ke Takengon, tahun 1973, Moese berhasil menyelesaikan SMA-nya di SMA Negeri 1 Takengon. Lamanya penyelesaian SMA ini dikarenakan Moese seringkali pindah dari satu daerah ke daerah lainnya di Indonesia. Di Takengon, Moese mulai mengajar musik di Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Kemudian, Moese melangsungkan pernikahan dengan Ani Fatma, sarjana pendidikan bahasa Indonesia Universitas Negeri Medan (UNIMED). Dari perkawinannya, Moese dikaruniai tiga anak yaitu Pia Ardiagarini, Muhammad Dirgantara dan Sagara Mahardika. Pada waktu itu, Moese tidak lagi mencipta lagu sebab harus fokus dan total untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Bersama istrinya Moese sempat berjualan minuman dan makanan ringan di Kebayakan, menitip kue buatan istrinya ke berbagai toko di Bale Atu, membantu istrinya menjalankan barang-barang kredit keperluan rumah tangga seperti rice cooker, blender, dan lain-lain sampai ke Pegasing, menanam tanaman muda di Belang Mersa dan berkebun kopi. Sampai-sampai Moese harus menjual biola kesayangannya karena desakan ekonomi pada masa tersebut. Biola ini merupakan hadiah dari gurunya di Akademi Musik Indonesia (AMI) Yogyakarta akibat kemampuan lebih Moese dalam memainkan biola. Sebagai tambahan, pada awal perkawinannya, Moese belum diangkat menjadi pegawai negeri sipil
Moese kemudian diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Aceh Tengah. Dari staf biasa, selanjutnya menjabat penilik dan terakhir sebagai kasi kebudayaan. Tahun 1981, Moese mendapat izin belajar dari pemerintah kabupaten Aceh Tengah untuk kuliah di IKIP Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta). Sambil kuliah dan menghidupi keluarganya di Jakarta, Moese mengajar private ensambel, gitar dan piano. Selain itu, Moese mengajar musik di SMP Negeri 88 Jakarta (staf honorer) khususnya untuk kegiatan-kegiatan ekstrakulikulier dan aktif di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Saat Moese menghadapi masalah financial, tak jarang, Moese pun dibantu oleh teman-temannya dan orang Gayo yang merantau di Jakarta; salah satunya adalah Wahab Rahmatsyah.
Setelah menyelesaikan studinya, Moese mendapat tawaran untuk meneruskan karirnya di Jakarta. Karena keterbatasan guru kesenian di Aceh dan panggilan jiwanya, Moese akhirnya kembali ke Takengon. Dapat dikatakan Moese merupakan sarjana musik pertama di Aceh. Moese kembali bertugas di dinas Pendidikan dan Kebudayaan dan mengasuh Bina Musika di bawah binaan dinas ini. Bina Musika ini kerap menjuarai berbagai even kesenian di Aceh dan mewakili propinsi ini di tingkat nasional. Waktu itu, Moese juga mengetuai Dewan Kesenian Takengon (DEKATE). Di tingkat propinsi, Moese biasa menjadi tutor seni vokal dan musik se-Aceh. Lebih dari itu, Moese biasa melatih paduan suara ibu-ibu kantor wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Istimewa Aceh (NAD) sebelum mengikuti lomba di tingkat nasional (Zuska, 2008)
Alat Musik dan Tari Kesume Gayo
Tahun 1992, untuk pertama kali, bersama Seh Kilang, Moese berhasil menciptakan alat musik tradisional yaitu gerantung (kalung kerbau). Gerantung ini pernah dimainkan dalam pelaksanaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) III di Banda Aceh dan di pentas seni lainnya. Selain gerantung, tahun 1992, Moese menciptakan jangka, yang terbuat dari peralatan pemotong tembakau. Seperti alat musik sebelumnya, jangka pernah diikutkan dalam lomba musik tradisional tingkat propinsi Daerah Istimewa Aceh, tahun 1993. Bahkan, dipentaskan dalam sebuah konser musik Gayo di Banda Aceh (1993), Taman Ismail Marzuki dan Taman Impina Jaya Ancol, Jakarta. Moese kembali menciptakan alat musik yang lain; perajah, tahun 1992. Perajah dibuat dari perahu bekas yang tidak terpakai lagi oleh nelayan yang ada di seputar Danau Laut Tawar. Alat musik ini ditampilkan di Taman Ismail Marzuki, Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta dan dalam acara Gatra Kencana TVRI, yang saat itu (1995) meraih juara II. Melalui ciptannya, Moese ingin menunjukan ciri khas musik Gayo. Dengan demikian, ketika orang mendengar alat musik ini, orang dapat mengetahui bahwa ketiga alat musik milik orang Gayo, tanoh Gayo, Nanggroe Aceh Darussalam.
Di bagian lain, Moese mulai menotasikan lirik-lirik didong, salah satu bentuk sastra lisan dan kesenian tradisional Gayo. Akibatnya, orang-orang di luar komunitas Gayo dapat menikmati kesenian ini dengan mudah. Dalam hal panduan suara, mealui lagunya yang berjudul renem jejem, Moese berhasil membawa grup paduan suara Daerah Istimewa Aceh masuk lima besar dalam Lomba Paduan Suara Tingkat Nasional di Jakarta. Tak hanya itu, tim paduan suara yang diasuh Moese mendapat juara III di propinsi (2003). Tahun 2004, Tim Paduan Suara SD dari Takengon, Aceh meraih peringkat IX se-Indonesia. Setahun berikutnya (2005), tim paduan suara dari Takengon, NAD menduduki peringkat XIII dari seluruh propinsi yang ada di Indonesia.
Tahun 2005, melalui Sanggar Pendopo Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, Moese membawa Indonesia dalam pementasan Tim Kesenian Anak-Anak Gayo dalam rangka Peringatan Hari Anak Se-Dunia yang diadakan di Scope Je, Macedonia (Eropa Timur). Cukup disayangkan, Moese tidak bisa berangkat ke Macedonia karena Moese sakit yang dideritanya memburuk. Lebih dari itu, Moese berhasil menciptakan tarian baru yang dikenal dengan tari Kesume Gayo. Tarian ini bercerita tentang senda gurau beru bujang, anak muda di tanoh Gayo, Aceh. Pertama kali, tari ini ditampilkan melalui Sanggar Griya Patria yang diasuhnya saat Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) III berlangsung di Banda. Setelah pensiun, Moese tetap melanjutkan kegiatannya dalam dunia musik di tanoh Gayo dan Aceh. Di rumahnya, Belang Mersa, Moese mendirikan kursus musik yang beri nama Zola Music Course, tahun 2001. Kegiatan rutin yang diadakan kursus ini sampai sekarang, antara lain; pelatihan tenaga kesenian, pelatihan solfegio for a children, kursus instrumen (gitar, biola, piano dan recorder), pelatihan dasar musik untuk tingkat SD dan SMP, pelatihan group paduan suara tingkat SD, konser musik serta pelatihan atau pembinaan pentas seni pelajar. Pada tanggal 12 Agustus 2007 yang lalu, pemerintah propinsi Aceh memberikan penghargaan kepada Moese untuk kategori musik dalam rangka memperingkati Hari Kesenian Aceh.
Menghadap Ilahi
Setelah lama menderita lever dan sempat berobat ke Medan serta menjalani perawatan di Rumah Sakit Datu Beru Takengon, tanggal 27 Agustus 2007 Moese menghadap sang pencipta, Allah SWT tepatnya pada jam 02.10 WIB di rumahnya Belang Mersa, Takengon. Setelah disholatkan di Masjid Ruhama Takengon, Moese dimakamkan di pemakaman umum di kampung Dedalu, kecamatan Lut Tawar, Takengon, Nanggroe Aceh Darussalam. Setahun lebih, Moese pergi dengan meninggalkan karya-karya yang tak ternilai bagi Aceh. Melalui kerja keras, totalitas, karya, dedikasi dan konsistensinya, Moese telah membuktikan dan berhasil mengangkat marwah dan martabat kesenian Gayo dan Aceh di negeri ini.
(Penulis Buku Biografi A. R. Moese)
Nama Abdur Rahman Moese tentu tidak asing lagi dalam dunia musik di Aceh. A. R. Moese memiliki nama asli Abu Musa Azhari dan kerap disapa dengan Moese atau Acong. Namun, nama A. R. Moese kemudian lebih sering dipakai dibandingkan Abu Moese Azhari. Moese dilahirkan di Kampung Baru, Takengon Timur, Aceh Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), tanggal 29 April 1939 dari pasangan Tengku. H. Sabdin dan Hj Sri Banun. Moese sendiri merupakan anak tertua laki laki dari sebelas bersaudara; Seri Jemat, Kelementina, Asmah, Sadimah, Jemilah, M. Syarif, Rukayah, Rosdah, Lindawati dan Mursyid.
Sejak kecil, Moese sudah menyukai musik. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh bapaknya tengku Sabdin, tokoh dan pelaku saman di kabupaten Gayo Lues. Selain itu, Tengku Sabdi mendalami syair saat kembali ke tanah leluhurnya, Takengon. Bersama saudara peremuannya; Sadimah dan Jalimah, Moese belajar olah vokal dari awan alik ke, bapak ibunya, Huria Panggabean. Saat sekolah di SMP Negeri 1 Takengon, Moese mulai belajar musik persisnya belajar instrumen. Pada 1953, Moese bergabung dengan kelompok musik Sadar yang diasuh oleh Ismail Mai. Moese mulai mempelajari not balok dalam kelompok ini, selain kakak kandungnya yang mengajar pada Sekolah Guru Bawah (SGB) B Takengon. Dalam Sadar, Moese dipercaya sebagai vokalis dengan suara tenor yang dimilikinya.
Pertama kali, tahun 1954, Moese mulai menciptakan lagu dengan judul garepo dan melati. Tahun 1957, Moese kemudian menciptakan Tawar Sedenge (penawar dunia) yang pada akhirnya ditetapkan sebagai lagu wajib daerah ‘semacam lagu kebangsaan bagi orang Gayo’ pada masa bupati Drs. H. Mustafa M. Tamy, MM. Konsekuensinya, Tawar Sedenge kerap dinyanyikan setelah lagu Indonesia Raya dalam berbagai acara formal kedaerahan dan di luar Aceh. Terkai dengan mencipta dan menggubah lagu, Moese telah menciptakan lebih dari 60 lagu berbahasa Gayo dan bahasa Indonesia termasuk gubahan lagu-lagu Gayo dan Aceh. Biasanya lagu-lagu yang digubah Moese akan popular di kalangan penikmat dan pecinta musik di Aceh.
Tahun 1958, Moese bergabung dengan tim kesenian kabupaten Aceh Tengah dalam rangka Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) I di Kota Raja (sekarang Banda Aceh). Dalam PKA itu, tim PKA kabupaten Aceh Tengah tampil sebagai juara umum. Untuk bidang musik, Moese tampil sebagai tokoh utama ketika itu. Pada saat yang sama, Radio Republik Indonesia (RRI) Banda Aceh memutar lagu lagu Moese seperti tangke ni ate, garip dan renggali. Bahkan, dalam kesempatan lain, lagu garip tadi pernah dinyanyikan oleh Kus Hendratmo di alun-alun Yogyakarta. Pada tahun yang sama, Moese bersama tim tari punca utama mewakili Aceh dalam pementasan kesenian pada acara kongres pemuda pertama di Bandung, Oktober 1958. Tari punca utama merupakan perpaduan tiga tari sekaligus yaitu tari resam berume, top pade dan tarik pukat. Dalam hal ini, Moese bertugas sebagai penyanyi. Selanjutnya, Moese bersama penari punca utama melakukan pementasan di Istana Bogor di hadapan presiden Sukarno dan pemerintahannya saat itu. Saat itulah, presiden Sukarno mengapresiasi bakat, kemampuan dan kualitas vokal yang dimiliki oleh seniman besar Gayo ini.
Dalam hal pendidikan, Moese berhasil menamatkan sekolahnya di Sekolah Perikatan Darat Yogyakarta. Setelah itu, Moese sempat berkerja di Sukabumi, Takengon (Aceh Tengah) dan Aceh Singkil). Namun, pekerjaan tersebut ditinggalkannya karena kecintaannya terhadap musik. Untuk itu, Moese meneruskan studinya ke Akademi Musik Indonesia (AMI), di Yogyakarta. Di AMI, Moese dapat dengan mudah memahami not balok dan not angka. Cukup disayangkan Moese tidak dapat menyelesaikan studinya karena sakit. Alhasil, Moese pindah ke Jakarta, tahun 1970. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dia sempat menjadi supir omperangan. Disamping itu, Moese bergabung dengan orkes tetap segar dibawah pimpinan Jenderal Polisi Hugeng dengan Idris Sardi dan lain-lain. Dalam orkes tetap segar, Moese dipercaya memainkan biola. Orkes ini kerap ditayangkan di TVRI sebulan sekali dengan membawakan lagu-lagu Indonesia dan keroncong. Saat yang sama pula, Moese merupakan salah satu pemain biola dan aktif di Lembaga Kebudayaan Gayo Alas, di Jakarta.
Saat kembali ke Takengon, tahun 1973, Moese berhasil menyelesaikan SMA-nya di SMA Negeri 1 Takengon. Lamanya penyelesaian SMA ini dikarenakan Moese seringkali pindah dari satu daerah ke daerah lainnya di Indonesia. Di Takengon, Moese mulai mengajar musik di Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Kemudian, Moese melangsungkan pernikahan dengan Ani Fatma, sarjana pendidikan bahasa Indonesia Universitas Negeri Medan (UNIMED). Dari perkawinannya, Moese dikaruniai tiga anak yaitu Pia Ardiagarini, Muhammad Dirgantara dan Sagara Mahardika. Pada waktu itu, Moese tidak lagi mencipta lagu sebab harus fokus dan total untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Bersama istrinya Moese sempat berjualan minuman dan makanan ringan di Kebayakan, menitip kue buatan istrinya ke berbagai toko di Bale Atu, membantu istrinya menjalankan barang-barang kredit keperluan rumah tangga seperti rice cooker, blender, dan lain-lain sampai ke Pegasing, menanam tanaman muda di Belang Mersa dan berkebun kopi. Sampai-sampai Moese harus menjual biola kesayangannya karena desakan ekonomi pada masa tersebut. Biola ini merupakan hadiah dari gurunya di Akademi Musik Indonesia (AMI) Yogyakarta akibat kemampuan lebih Moese dalam memainkan biola. Sebagai tambahan, pada awal perkawinannya, Moese belum diangkat menjadi pegawai negeri sipil
Moese kemudian diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Aceh Tengah. Dari staf biasa, selanjutnya menjabat penilik dan terakhir sebagai kasi kebudayaan. Tahun 1981, Moese mendapat izin belajar dari pemerintah kabupaten Aceh Tengah untuk kuliah di IKIP Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta). Sambil kuliah dan menghidupi keluarganya di Jakarta, Moese mengajar private ensambel, gitar dan piano. Selain itu, Moese mengajar musik di SMP Negeri 88 Jakarta (staf honorer) khususnya untuk kegiatan-kegiatan ekstrakulikulier dan aktif di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Saat Moese menghadapi masalah financial, tak jarang, Moese pun dibantu oleh teman-temannya dan orang Gayo yang merantau di Jakarta; salah satunya adalah Wahab Rahmatsyah.
Setelah menyelesaikan studinya, Moese mendapat tawaran untuk meneruskan karirnya di Jakarta. Karena keterbatasan guru kesenian di Aceh dan panggilan jiwanya, Moese akhirnya kembali ke Takengon. Dapat dikatakan Moese merupakan sarjana musik pertama di Aceh. Moese kembali bertugas di dinas Pendidikan dan Kebudayaan dan mengasuh Bina Musika di bawah binaan dinas ini. Bina Musika ini kerap menjuarai berbagai even kesenian di Aceh dan mewakili propinsi ini di tingkat nasional. Waktu itu, Moese juga mengetuai Dewan Kesenian Takengon (DEKATE). Di tingkat propinsi, Moese biasa menjadi tutor seni vokal dan musik se-Aceh. Lebih dari itu, Moese biasa melatih paduan suara ibu-ibu kantor wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Istimewa Aceh (NAD) sebelum mengikuti lomba di tingkat nasional (Zuska, 2008)
Alat Musik dan Tari Kesume Gayo
Tahun 1992, untuk pertama kali, bersama Seh Kilang, Moese berhasil menciptakan alat musik tradisional yaitu gerantung (kalung kerbau). Gerantung ini pernah dimainkan dalam pelaksanaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) III di Banda Aceh dan di pentas seni lainnya. Selain gerantung, tahun 1992, Moese menciptakan jangka, yang terbuat dari peralatan pemotong tembakau. Seperti alat musik sebelumnya, jangka pernah diikutkan dalam lomba musik tradisional tingkat propinsi Daerah Istimewa Aceh, tahun 1993. Bahkan, dipentaskan dalam sebuah konser musik Gayo di Banda Aceh (1993), Taman Ismail Marzuki dan Taman Impina Jaya Ancol, Jakarta. Moese kembali menciptakan alat musik yang lain; perajah, tahun 1992. Perajah dibuat dari perahu bekas yang tidak terpakai lagi oleh nelayan yang ada di seputar Danau Laut Tawar. Alat musik ini ditampilkan di Taman Ismail Marzuki, Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta dan dalam acara Gatra Kencana TVRI, yang saat itu (1995) meraih juara II. Melalui ciptannya, Moese ingin menunjukan ciri khas musik Gayo. Dengan demikian, ketika orang mendengar alat musik ini, orang dapat mengetahui bahwa ketiga alat musik milik orang Gayo, tanoh Gayo, Nanggroe Aceh Darussalam.
Di bagian lain, Moese mulai menotasikan lirik-lirik didong, salah satu bentuk sastra lisan dan kesenian tradisional Gayo. Akibatnya, orang-orang di luar komunitas Gayo dapat menikmati kesenian ini dengan mudah. Dalam hal panduan suara, mealui lagunya yang berjudul renem jejem, Moese berhasil membawa grup paduan suara Daerah Istimewa Aceh masuk lima besar dalam Lomba Paduan Suara Tingkat Nasional di Jakarta. Tak hanya itu, tim paduan suara yang diasuh Moese mendapat juara III di propinsi (2003). Tahun 2004, Tim Paduan Suara SD dari Takengon, Aceh meraih peringkat IX se-Indonesia. Setahun berikutnya (2005), tim paduan suara dari Takengon, NAD menduduki peringkat XIII dari seluruh propinsi yang ada di Indonesia.
Tahun 2005, melalui Sanggar Pendopo Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, Moese membawa Indonesia dalam pementasan Tim Kesenian Anak-Anak Gayo dalam rangka Peringatan Hari Anak Se-Dunia yang diadakan di Scope Je, Macedonia (Eropa Timur). Cukup disayangkan, Moese tidak bisa berangkat ke Macedonia karena Moese sakit yang dideritanya memburuk. Lebih dari itu, Moese berhasil menciptakan tarian baru yang dikenal dengan tari Kesume Gayo. Tarian ini bercerita tentang senda gurau beru bujang, anak muda di tanoh Gayo, Aceh. Pertama kali, tari ini ditampilkan melalui Sanggar Griya Patria yang diasuhnya saat Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) III berlangsung di Banda. Setelah pensiun, Moese tetap melanjutkan kegiatannya dalam dunia musik di tanoh Gayo dan Aceh. Di rumahnya, Belang Mersa, Moese mendirikan kursus musik yang beri nama Zola Music Course, tahun 2001. Kegiatan rutin yang diadakan kursus ini sampai sekarang, antara lain; pelatihan tenaga kesenian, pelatihan solfegio for a children, kursus instrumen (gitar, biola, piano dan recorder), pelatihan dasar musik untuk tingkat SD dan SMP, pelatihan group paduan suara tingkat SD, konser musik serta pelatihan atau pembinaan pentas seni pelajar. Pada tanggal 12 Agustus 2007 yang lalu, pemerintah propinsi Aceh memberikan penghargaan kepada Moese untuk kategori musik dalam rangka memperingkati Hari Kesenian Aceh.
Menghadap Ilahi
Setelah lama menderita lever dan sempat berobat ke Medan serta menjalani perawatan di Rumah Sakit Datu Beru Takengon, tanggal 27 Agustus 2007 Moese menghadap sang pencipta, Allah SWT tepatnya pada jam 02.10 WIB di rumahnya Belang Mersa, Takengon. Setelah disholatkan di Masjid Ruhama Takengon, Moese dimakamkan di pemakaman umum di kampung Dedalu, kecamatan Lut Tawar, Takengon, Nanggroe Aceh Darussalam. Setahun lebih, Moese pergi dengan meninggalkan karya-karya yang tak ternilai bagi Aceh. Melalui kerja keras, totalitas, karya, dedikasi dan konsistensinya, Moese telah membuktikan dan berhasil mengangkat marwah dan martabat kesenian Gayo dan Aceh di negeri ini.
Tawar Sedenge; Lagu Menggugah & Mengubah
Oleh: *Yusradi Usman Al Gayoni
(16 Rajab 1428 H/31 Juli 2007)
Engon ko so tanoh Gayo
Si megah mu reta dele
Rum batang uyem si ijo, kupi bako e
Pengen ko tuk ni korek so
Uwet mi ko tanoh Gayo
Seselen pumu ni baju, netah dirimu
Enti daten bur kelieten
Mongot pude deru
Oya le rahmat ni Tuhen, ken ko bewen mu
Uwetmi ko tanoh Gayo
Semayak bajangku
Ken tawar roh munyang datu, uwetmi masku
Ko matangku si mu mimpim
Emah uyem ko ken soloh
Katiti kiding enti museltu, i lah ni dene
O kiding kao ken cermin
Remalan enti berteduh
Enti mera kao tang duru, ton jema dele
Enti osan ku pumu jema
Pesaka si ara
Tenaring ni munyang datu, ken ko bewene mu
Uwet mi ko tanoh Gayo
Ko opoh bajungku
Ken tawar roh munyang datu, uwetmi masku
Inilah salah satu puisi A.R. Moese yang diciptakannya di Baleatu pada tahun 1956. Karya monumental ini cukup populer di kalangan masyarakat Gayo. Betapa tidak, lagu ini kerap dinyanyikan di acara-acara formal baik di pemerintahan tanoh Gayo maupun di tingkat masyarakat Gayo. Oleh pemerintah daerah, lagu ini kemudian ditetapkan sebagai lagu wajib daerah. Tidak hanya di tanoh Gayo, lagu ini selalu dinyanyinkan oleh anak negeri di perantauan ’pang - pang pendidikan’. Tidak jarang, saat mereka menyanyikan lagu ini, mereka merasa tersentuh sambil menangis, ingin berbuat sesuatu terhadap negeri mereka ’dataran tinggi tanoh Gayo’ dan pada saat yang sama, seolah mereka dibawa terbang ke tanah kelahiran mereka. Karya ini begitu menyetuh perasaan, cukup menggugah dan memberikan efek perubahan bagi pendengarnya ’urang Gayo’ sekaligus menjadi motivator bagi urang Gayo itu sendiri. Akibatnya, mereka ’urang Gayo’ ingin berbuat dan memberikan yang terbaik bagi negeri mereka ’tanoh Gayo’. Tentu kita ’masyarakat dan generasi Gayo hari ini’ cukup mengapresiasi karya besar A.R. Moese diatas.
Engon ko so tanoh Gayo (lihatlah tanah Gayo), si megah rum reta dele (yang terkenal dengan harta yang melimpah), rum batang uyem si ijo, kupi bako e (dengan batang pinus yang hijau serta kopinya). Pengarang mengajak pembacanya untuk melihat dan mengetahui tanoh Gayo yang terkenal dengan harta melimpah. Dalam hal ini, tanoh Gayo tidak hanya Takengon (Aceh Tengah), tetapi juga Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Lokop Serbejadi (Aceh Timur), Kalul (A.Tamiang) dan sebagian kecil di Aceh Selatan. Gambaran harta yang melimpah ’kekayaaan tanoh Gayo’ adalah pinus mercusi, kopi dan tembakau. Tentu pinus mercusi, kopi Gayo jenis Arabika dan tembakau, merupakan sebagian kecil kekayaan yang dimiliki daerah ini. Selain itu, tanoh Gayo terkenal sebagai daerah pertanian ’holtikultura’ ’asam keprok sebagai komoditi nasional’ dan dulunya (zaman kolonialis Belanda), daerah ini (sekarang Bener Meriah) memiliki teh yang sempat merambah pasar ke benua Eropa dengan brand ’teh Redelong’. Juga daerah ini memiliki kualitas ganja yang tidak kalah di dunia. Kemudian, tanoh Gayo juga mengandung potensi tambang yang cukup pontensial seperti emas, batu bara, tembaga, uranium, gas, dan lain-lain. Iwan Gayo sendiri ’penyusun buku pintar & pemeta dataran tinggi tanoh Gayo’ menyebut daerah ini sebagai jamrud khatulistiwa mengingat potensi alam yang cukup kaya dan melimpah. Tak hanya itu, tanoh Gayo memiliki wajah memikau yang sempurna dengan danau kecilnya ’Danau Laut Tawar’ serta warisan budaya yang kerap hidup dan terpelihara dalam masyarakatnya.
Tanoh Gayo merupakan rahmat dan karunia Allah SWT kepada penghuninya sebagaimana disebutkan pengarang kemudian. Masyarakat yang mendiaminya harus bersyukur dengan karunia ini. Rasa syukur tersebut mesti diwujudkan dengan kerja keras, senantiasa menggali potensi diri, belajar tiada henti, perilaku yang positif dengan saling melengkapi kekurangan dan kelebihan yang ada, mendorong inovasi, kreativitas serta partisifasi aktif masyarakatnya dalam membangun negeri ini ’negeri penuh misteri ini’. Yang tidak kalah penting adalah menjaga warisan leluhur dan ciptaan Tuhan yang luar biasa ini.
Pengen ko tuk ni korek so (dengarlah suara ayam berkokok), uwet mi ko tanoh Gayo (bangunlah tanah Gayo), seselen pumu ni baju (singsingkan lengan baju), netah dirimu (untuk memperbaiki dirimu). Dalam bait ini, A.R. Moese yang juga seorang musisi ini mengajak tanah Gayo ’masyarakat dataran tinggi tanoh Gayo’ untuk bangun ’tuk ni korek so & uwet mi ko tanoh Gayo’ dan bangkit untuk memperbaiki diri ’seselen pumu ni baju’. Bangun dan bangkit bearti berbuat dan berkarya untuk negeri ’tanoh Gayo’. Karena tidak ada orang lain yang mampu mengubah kondisi dataran tinggi tanoh Gayo, mengangkat harkat, derajat dan martabat orang Gayo, selain orang Gayo itu sendiri (QS: Ar Ra’du: 11). Sehingga mereka ’bangsa Gayo’ akan menghargai diri mereka sendiri, ”the greater the man soul, the deeper he loves”, semakin besar jiwa seseorang, semakin dalam dia mencintai, demikian kata Leonardo da Vinci – pelukis Monalisa.
Enti daten bur kelieten, mongot pude deru (jangan biarkan gunung Kelieten menangis haru), oya le rahmat ni Tuhen (itulah rahmat Tuhan), ken ko bewen mu (untuk kamu semua). Hal menarik disini, kenapa gunung Kelieten sampai menangis? Penulis menapsirkan, hal tersebut tidak terlepas dari persepsi, konsep dan paradigma berpikir serta perilaku masyarakat Gayo sendiri. Kedua, merujuk kepada gunung Kelieten sebagai perwakilan kekayaan hutan dan alam tanoh Gayo. Untuk yang pertama, kita perlu melihat sejarah daerah ini yang masih kabur, konflik berkepanjangan yang menghilangkan ribuan nyawa, harta serta berimbas pada lemahnya ekonomi masyarakat, perubahan yang lamban terjadi, sikut kuwen kiri, tulok wan opoh kerung, perbedaan uken dan towa; kita memang ditakdirkan dan dilahirkan berbeda, ada uken, ada towa, ada Gayo Lut,Gayo Deret, Gayo Lues, Gayo Lukup, Gayo Kalul & Gayo Alas, namun mari jadikan perbedaan tersebut sebagai kekuatan dan kayanya jati diri kita (Al Gayoni). Untuk yang terakhir, Prof. H. Muhammad Daud, SH., Guru Besar Kriminologi Universitas Sumatera Utara, yang merupakan salah satu akademisi sepuh Gayo di USU menekankan, ”uken-towa hanya masalah pertama dan belakangan yang datang ke tanoh Gayo, kita ’urang Gayo’ harus meninggalkan budaya uken-towa untuk tidak memperbesar perbedaan yang ada, tidak menggunakan uken-towa untuk mencapai kepentingan tertentu, karenanya kita mesti menggunakan standar kualitas dan profesionalitas untuk perbaikan dan menuju revivalisasi urang Gayo.” (wawancara penulis, 24-25 November 2006). Kedua, eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam tanoh Gayo yang tidak ramah lingkungan, tidak memberikan jangka panjang dan mengkebiri hak dan mengkerdilkan jiwa masyarakat sekitar; seperti pembakaran & penebangan hutan, penambangan liar, dan lain-lain yang berakibat pada kerusakan wajah dan tubuh Gayo sendiri. Gunung Kelieten disini hanya sebagai perumpamaan sekaligus mewakili wajah tanoh Gayo yang menawan. Kita bisa lihat dampak dari penembangan hutan terhadap perubahan cuaca, longsor yang terjadi diluar rasio berpikir kita, ”kenapa bisa terjadi?” dan pengurangan debit air pada Danau Laut Tawar. Kita baru terhenyak dan sadar ketika bur Kelieten benar-benar menangis dan keringnya danau kebanggaan kita sehingga generasi mendatang mengutuk perbuatan kita dan generasi pendahulunya. Ironisnya, kita hanya sadar seketika tanpa niat dan usaha perbaikan sama sekali.
Berikutnya, kembali pengarang mengajak bangsa Gayo untuk bangkit memperbaiki kondisi masyarakat dataran tinggi tanoh Gayo menuju sebuah perbaikan dan perubahan”uwetmi ko tanoh Gayo (bangkitlah engkau tanah Gayo), semayak bajangku, ken tawar roh munyang datu (untuk tawar bagi pendahulu-pendahulu), uwetmi masku (bangkitlah masku)” . Seperti dijelaskan sebelumnya, tidak akan turun hujan emas dari langit dengan sendirinya, ketika orang Gayo pasif, termangu, hanya menjadi penonton, menunggu pergantian hari tanpa makna dan arti bagi diri serta orang lain. Oleh sebab itu, pengarang mengajak masyarakat yang mendiami daerah ini untuk senantiasa bangkit dengan kerja nyata dan mengukir peradaban untuk perbaikan negeri ini.
Ko matangku si mu mimpim (engkau mata ku sebagai pemimpin/penunjuk arah), emah uyem ko ken soloh (bawalah pinus sebagai penerang), katiti kiding enti museltu, ilah ni dene (agar kaki tidak tersandung dalam perjalanan) Betapa puitis dan menyejukan, A. R. Moese membahasakan rangkaian baris puisi ini. Penulis menerjemahkan ’mata’ disini tidak sebatas mata kita ’secara kasat mata’ namun lebih jauh yaitu ruang Tuhan dalam diri kita, nurani, hati nurani, qolbu, heart brain (pakar syaraf) & heart intelligence (meminjam istilah Doc Childre & Howard Martin dalam The Heart Math Solution). Sama halnya dengan pinus, disini juga merupakan sebuah tamsilan. Secara nyata, pinus dapat digunakan sebagai soloh, suluh’ ’obor’ atau penerang dalam kegelapan untuk menunjukan arah ketika kita berjalan. Kata soloh disini berhubungan erat dengan ’mata’ pada baris sebelumnya.
Penulis lebih melihat hubungan tersebut kepada petunjuk atau penerang yang diberikan kepada manusia itu sendiri yaitu berupa kitab Tuhan. Dalam kontek Islam, tentu petunjuk yang dimaksud adalah Al – Quran dan As Sunah. Kedua petunjuk inilah yang dimaksud pengarang dalam untain untaian bait - bait puisinya dengan menggunakan ’nurani’ atau ’qolbu’ dalam diri manusia. Atau dalam bahasa adat, kita mengenal ungkapan, tingkis ulak ku bide, sesat ulak ku dene. Dene disini tidak lain, adalah ihdinassiratalmustaqim, seperti yang dijelaskan dalam Al- Quran (QS Al Fatihah: 6). Korelasi ini dapat kita lihat pada baris berikutnya yaitu ’katiti kiding enti museltu i lah ni dene’ (agar kaki tidak tersandung dalam perjalanan). Demikian luar biasanya seorang anak negeri; A.R. Moese mamadukan kata-kata tersebut. Dikala kita menggunakan pinus, suluh, lentera atau lampu dalam gelapnya malam, jalan kita akan terangi dan kita akan tahu arah dan tujuan perjalanan yang akan kita tempuh. Demikian hal-nya tatkala, kita menjadikan Al – Quran & Hadist Nabi Allah SWT, Muhammad Rasulullah sebagai penuntun, pastinya kita tahu dari mana, dimana dan mau kemana kita melangkah dengan menggunakan ’mata sebagai pembimbing’ atau qolbu ’ruang Tuhan’ dalam diri kita.
O kiding kao ken cermin (kaki, engkau sebagai cermin), remalan enti berteduh (jangan berhenti berjalan). Pengarang menjadikan kaki ’kiding’ sebagai cermin dari berjalan/perjalanan ’remalan’. Hal tersebut merupakan sebuah gambaran terhadap perjalanan yang kita lalui. Sekaligus pengarang mengajak pembacanya untuk terus berjalan untuk mencapai tujuan yang telah kita tetapkan ’visi hidup’. Semakin banyak dan jauh kita melakukan perjalanan, akan semakin banyak kita lihat dengan mengambil hikmah dari perjalanan yang kita lakukan. Dengan begitu, kita akan tahu hakekat penciptaan dan keberadaan diri kita. ’Enti berteduh disini’ dapat juga ditafsirkan sebagai ’usaha’ atau ’besarnya motivasi’ ’misi’ yang kita lakukan untuk mencapai tujuan tadi ’bentangan visi hidup’. The greatest thing in this world is not so much where we are, but in what direction we are moving (sesuatu yang terbesar dalam dunia ini bukanlah dimana kita berada namun kea rah mana kita akan bergerak), demikian kata Oliver Wendell Holmess. Apa yang dikatakan Holmes, semakin memperjelas maksud A.R. Moese dengan Tawar Sedenge-nya akan makna ’kiding ken cermin’ dan ’remalan enti berteduh’.
Enti mera kao tang duru (jangan mau engkau di belakang), ton jema dele (di tempat khalayak ramai). Tak bosan-bosanya, A.R. Moese kembali dan terus mengobarkan semangat kepada masyarakat Gayo melalui karyanya, duduk di belakang ’bermental kerupuk’ dalam khalayak ramai. Kita ’ bangsa Gayo’ harus tampil ’tang arap’ di depan, inisiatif, sebagai aktor utama, subjek atau pelaku di tengah-tengah masyarakat. Untuk tampil di depan, tentu tidak terlepas dari potensi diri, kualitas dan kemampuan yang kita miliki. Menyangkut kemampuan ini, Dr.-Ing. Ikhwansyah Isranuri (alumni Jerman), salah satu putra terbaik Gayo di USU (sekarang Dosen Teknik Mesin & Sekretaris Sekolah Pascasarja Teknik Mesin) menuturkan bahwa ”kemampuan otak orang Gayo terutama untuk bidang eksakta seperti ’mutiara yang ditutupi debu’”. Mudah-mudahan, apa yang dikatan doktor muda Gayo ini dapat menjadi renungan bagi kita semua.
Enti osan ku pumu jema (jangan berikan ke tangan orang lain), pesaka si ara (pusaka yang ada), tenaring ni munyang datu (peninggalan munyang datu/pendahulu negeri), ken ko bewene mu (untuk kamu semua). Melalui ini Tawar Sedenge, pengarang berpesan agar urang Gayo, tidak memberikan pusaka yang ada sebagai warisan leluhur ke tangan orang lain. Untuk itu, masyarakat Gayo harus selalu menjaga harta yang menjadi warisan lelulur tersebut baik fisik maupun non-fisik sehingga kita dapat mengapresiasi niat baik, kerja keras, tetesan-tetesan pemikiran pendahulu-pendahulu kita yang telah menghasilkan peradaban ini. Bagaimana pun, mereka ’pendahulu kita’ telah meninggalkan sesuatu buat kita hari ini. Bagaimana pun, mereka telah berbuat untuk kita hari ini. Tinggal lagi, giliran kita untuk berbuat, membuktikan dan berkarya untuk mewariskannya kepada generasi kita seterusnya. Jangan tanya orang lain namun tanya dirimu, ”Apa yang telah engkau berikan pada orang lain.” (Al Gayoni)
Uwet mi ko tanoh Gayo (bangkitlah tanah/bangsa Gayo), ko opoh bajungku (engkaulah pakaianku), ken tawar roh munyang datu (sebagai tawar untuk munyang datu/pendahulu), uwetmi masku (bangun dan bangkitlah masku). Di akhir puisinya, A. R. Moese kembali membangkitkan dan mengobarkan semangat yang tiada hentinya kepada bangsa Gayo, ”bangunlah tanah Gayo,” ”bangkitlah orang Gayo”, ”tunjukkan bahwa kamu mampu,” ”buktikan pada luluhur mu bahwa kamu bisa, ”bangkitlah,”warnai sejarah negeri ini dengan kegigihan, kerja keras, keyakinan, karya dan prestasimu.”
(16 Rajab 1428 H/31 Juli 2007)
Engon ko so tanoh Gayo
Si megah mu reta dele
Rum batang uyem si ijo, kupi bako e
Pengen ko tuk ni korek so
Uwet mi ko tanoh Gayo
Seselen pumu ni baju, netah dirimu
Enti daten bur kelieten
Mongot pude deru
Oya le rahmat ni Tuhen, ken ko bewen mu
Uwetmi ko tanoh Gayo
Semayak bajangku
Ken tawar roh munyang datu, uwetmi masku
Ko matangku si mu mimpim
Emah uyem ko ken soloh
Katiti kiding enti museltu, i lah ni dene
O kiding kao ken cermin
Remalan enti berteduh
Enti mera kao tang duru, ton jema dele
Enti osan ku pumu jema
Pesaka si ara
Tenaring ni munyang datu, ken ko bewene mu
Uwet mi ko tanoh Gayo
Ko opoh bajungku
Ken tawar roh munyang datu, uwetmi masku
Inilah salah satu puisi A.R. Moese yang diciptakannya di Baleatu pada tahun 1956. Karya monumental ini cukup populer di kalangan masyarakat Gayo. Betapa tidak, lagu ini kerap dinyanyikan di acara-acara formal baik di pemerintahan tanoh Gayo maupun di tingkat masyarakat Gayo. Oleh pemerintah daerah, lagu ini kemudian ditetapkan sebagai lagu wajib daerah. Tidak hanya di tanoh Gayo, lagu ini selalu dinyanyinkan oleh anak negeri di perantauan ’pang - pang pendidikan’. Tidak jarang, saat mereka menyanyikan lagu ini, mereka merasa tersentuh sambil menangis, ingin berbuat sesuatu terhadap negeri mereka ’dataran tinggi tanoh Gayo’ dan pada saat yang sama, seolah mereka dibawa terbang ke tanah kelahiran mereka. Karya ini begitu menyetuh perasaan, cukup menggugah dan memberikan efek perubahan bagi pendengarnya ’urang Gayo’ sekaligus menjadi motivator bagi urang Gayo itu sendiri. Akibatnya, mereka ’urang Gayo’ ingin berbuat dan memberikan yang terbaik bagi negeri mereka ’tanoh Gayo’. Tentu kita ’masyarakat dan generasi Gayo hari ini’ cukup mengapresiasi karya besar A.R. Moese diatas.
Engon ko so tanoh Gayo (lihatlah tanah Gayo), si megah rum reta dele (yang terkenal dengan harta yang melimpah), rum batang uyem si ijo, kupi bako e (dengan batang pinus yang hijau serta kopinya). Pengarang mengajak pembacanya untuk melihat dan mengetahui tanoh Gayo yang terkenal dengan harta melimpah. Dalam hal ini, tanoh Gayo tidak hanya Takengon (Aceh Tengah), tetapi juga Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Lokop Serbejadi (Aceh Timur), Kalul (A.Tamiang) dan sebagian kecil di Aceh Selatan. Gambaran harta yang melimpah ’kekayaaan tanoh Gayo’ adalah pinus mercusi, kopi dan tembakau. Tentu pinus mercusi, kopi Gayo jenis Arabika dan tembakau, merupakan sebagian kecil kekayaan yang dimiliki daerah ini. Selain itu, tanoh Gayo terkenal sebagai daerah pertanian ’holtikultura’ ’asam keprok sebagai komoditi nasional’ dan dulunya (zaman kolonialis Belanda), daerah ini (sekarang Bener Meriah) memiliki teh yang sempat merambah pasar ke benua Eropa dengan brand ’teh Redelong’. Juga daerah ini memiliki kualitas ganja yang tidak kalah di dunia. Kemudian, tanoh Gayo juga mengandung potensi tambang yang cukup pontensial seperti emas, batu bara, tembaga, uranium, gas, dan lain-lain. Iwan Gayo sendiri ’penyusun buku pintar & pemeta dataran tinggi tanoh Gayo’ menyebut daerah ini sebagai jamrud khatulistiwa mengingat potensi alam yang cukup kaya dan melimpah. Tak hanya itu, tanoh Gayo memiliki wajah memikau yang sempurna dengan danau kecilnya ’Danau Laut Tawar’ serta warisan budaya yang kerap hidup dan terpelihara dalam masyarakatnya.
Tanoh Gayo merupakan rahmat dan karunia Allah SWT kepada penghuninya sebagaimana disebutkan pengarang kemudian. Masyarakat yang mendiaminya harus bersyukur dengan karunia ini. Rasa syukur tersebut mesti diwujudkan dengan kerja keras, senantiasa menggali potensi diri, belajar tiada henti, perilaku yang positif dengan saling melengkapi kekurangan dan kelebihan yang ada, mendorong inovasi, kreativitas serta partisifasi aktif masyarakatnya dalam membangun negeri ini ’negeri penuh misteri ini’. Yang tidak kalah penting adalah menjaga warisan leluhur dan ciptaan Tuhan yang luar biasa ini.
Pengen ko tuk ni korek so (dengarlah suara ayam berkokok), uwet mi ko tanoh Gayo (bangunlah tanah Gayo), seselen pumu ni baju (singsingkan lengan baju), netah dirimu (untuk memperbaiki dirimu). Dalam bait ini, A.R. Moese yang juga seorang musisi ini mengajak tanah Gayo ’masyarakat dataran tinggi tanoh Gayo’ untuk bangun ’tuk ni korek so & uwet mi ko tanoh Gayo’ dan bangkit untuk memperbaiki diri ’seselen pumu ni baju’. Bangun dan bangkit bearti berbuat dan berkarya untuk negeri ’tanoh Gayo’. Karena tidak ada orang lain yang mampu mengubah kondisi dataran tinggi tanoh Gayo, mengangkat harkat, derajat dan martabat orang Gayo, selain orang Gayo itu sendiri (QS: Ar Ra’du: 11). Sehingga mereka ’bangsa Gayo’ akan menghargai diri mereka sendiri, ”the greater the man soul, the deeper he loves”, semakin besar jiwa seseorang, semakin dalam dia mencintai, demikian kata Leonardo da Vinci – pelukis Monalisa.
Enti daten bur kelieten, mongot pude deru (jangan biarkan gunung Kelieten menangis haru), oya le rahmat ni Tuhen (itulah rahmat Tuhan), ken ko bewen mu (untuk kamu semua). Hal menarik disini, kenapa gunung Kelieten sampai menangis? Penulis menapsirkan, hal tersebut tidak terlepas dari persepsi, konsep dan paradigma berpikir serta perilaku masyarakat Gayo sendiri. Kedua, merujuk kepada gunung Kelieten sebagai perwakilan kekayaan hutan dan alam tanoh Gayo. Untuk yang pertama, kita perlu melihat sejarah daerah ini yang masih kabur, konflik berkepanjangan yang menghilangkan ribuan nyawa, harta serta berimbas pada lemahnya ekonomi masyarakat, perubahan yang lamban terjadi, sikut kuwen kiri, tulok wan opoh kerung, perbedaan uken dan towa; kita memang ditakdirkan dan dilahirkan berbeda, ada uken, ada towa, ada Gayo Lut,Gayo Deret, Gayo Lues, Gayo Lukup, Gayo Kalul & Gayo Alas, namun mari jadikan perbedaan tersebut sebagai kekuatan dan kayanya jati diri kita (Al Gayoni). Untuk yang terakhir, Prof. H. Muhammad Daud, SH., Guru Besar Kriminologi Universitas Sumatera Utara, yang merupakan salah satu akademisi sepuh Gayo di USU menekankan, ”uken-towa hanya masalah pertama dan belakangan yang datang ke tanoh Gayo, kita ’urang Gayo’ harus meninggalkan budaya uken-towa untuk tidak memperbesar perbedaan yang ada, tidak menggunakan uken-towa untuk mencapai kepentingan tertentu, karenanya kita mesti menggunakan standar kualitas dan profesionalitas untuk perbaikan dan menuju revivalisasi urang Gayo.” (wawancara penulis, 24-25 November 2006). Kedua, eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam tanoh Gayo yang tidak ramah lingkungan, tidak memberikan jangka panjang dan mengkebiri hak dan mengkerdilkan jiwa masyarakat sekitar; seperti pembakaran & penebangan hutan, penambangan liar, dan lain-lain yang berakibat pada kerusakan wajah dan tubuh Gayo sendiri. Gunung Kelieten disini hanya sebagai perumpamaan sekaligus mewakili wajah tanoh Gayo yang menawan. Kita bisa lihat dampak dari penembangan hutan terhadap perubahan cuaca, longsor yang terjadi diluar rasio berpikir kita, ”kenapa bisa terjadi?” dan pengurangan debit air pada Danau Laut Tawar. Kita baru terhenyak dan sadar ketika bur Kelieten benar-benar menangis dan keringnya danau kebanggaan kita sehingga generasi mendatang mengutuk perbuatan kita dan generasi pendahulunya. Ironisnya, kita hanya sadar seketika tanpa niat dan usaha perbaikan sama sekali.
Berikutnya, kembali pengarang mengajak bangsa Gayo untuk bangkit memperbaiki kondisi masyarakat dataran tinggi tanoh Gayo menuju sebuah perbaikan dan perubahan”uwetmi ko tanoh Gayo (bangkitlah engkau tanah Gayo), semayak bajangku, ken tawar roh munyang datu (untuk tawar bagi pendahulu-pendahulu), uwetmi masku (bangkitlah masku)” . Seperti dijelaskan sebelumnya, tidak akan turun hujan emas dari langit dengan sendirinya, ketika orang Gayo pasif, termangu, hanya menjadi penonton, menunggu pergantian hari tanpa makna dan arti bagi diri serta orang lain. Oleh sebab itu, pengarang mengajak masyarakat yang mendiami daerah ini untuk senantiasa bangkit dengan kerja nyata dan mengukir peradaban untuk perbaikan negeri ini.
Ko matangku si mu mimpim (engkau mata ku sebagai pemimpin/penunjuk arah), emah uyem ko ken soloh (bawalah pinus sebagai penerang), katiti kiding enti museltu, ilah ni dene (agar kaki tidak tersandung dalam perjalanan) Betapa puitis dan menyejukan, A. R. Moese membahasakan rangkaian baris puisi ini. Penulis menerjemahkan ’mata’ disini tidak sebatas mata kita ’secara kasat mata’ namun lebih jauh yaitu ruang Tuhan dalam diri kita, nurani, hati nurani, qolbu, heart brain (pakar syaraf) & heart intelligence (meminjam istilah Doc Childre & Howard Martin dalam The Heart Math Solution). Sama halnya dengan pinus, disini juga merupakan sebuah tamsilan. Secara nyata, pinus dapat digunakan sebagai soloh, suluh’ ’obor’ atau penerang dalam kegelapan untuk menunjukan arah ketika kita berjalan. Kata soloh disini berhubungan erat dengan ’mata’ pada baris sebelumnya.
Penulis lebih melihat hubungan tersebut kepada petunjuk atau penerang yang diberikan kepada manusia itu sendiri yaitu berupa kitab Tuhan. Dalam kontek Islam, tentu petunjuk yang dimaksud adalah Al – Quran dan As Sunah. Kedua petunjuk inilah yang dimaksud pengarang dalam untain untaian bait - bait puisinya dengan menggunakan ’nurani’ atau ’qolbu’ dalam diri manusia. Atau dalam bahasa adat, kita mengenal ungkapan, tingkis ulak ku bide, sesat ulak ku dene. Dene disini tidak lain, adalah ihdinassiratalmustaqim, seperti yang dijelaskan dalam Al- Quran (QS Al Fatihah: 6). Korelasi ini dapat kita lihat pada baris berikutnya yaitu ’katiti kiding enti museltu i lah ni dene’ (agar kaki tidak tersandung dalam perjalanan). Demikian luar biasanya seorang anak negeri; A.R. Moese mamadukan kata-kata tersebut. Dikala kita menggunakan pinus, suluh, lentera atau lampu dalam gelapnya malam, jalan kita akan terangi dan kita akan tahu arah dan tujuan perjalanan yang akan kita tempuh. Demikian hal-nya tatkala, kita menjadikan Al – Quran & Hadist Nabi Allah SWT, Muhammad Rasulullah sebagai penuntun, pastinya kita tahu dari mana, dimana dan mau kemana kita melangkah dengan menggunakan ’mata sebagai pembimbing’ atau qolbu ’ruang Tuhan’ dalam diri kita.
O kiding kao ken cermin (kaki, engkau sebagai cermin), remalan enti berteduh (jangan berhenti berjalan). Pengarang menjadikan kaki ’kiding’ sebagai cermin dari berjalan/perjalanan ’remalan’. Hal tersebut merupakan sebuah gambaran terhadap perjalanan yang kita lalui. Sekaligus pengarang mengajak pembacanya untuk terus berjalan untuk mencapai tujuan yang telah kita tetapkan ’visi hidup’. Semakin banyak dan jauh kita melakukan perjalanan, akan semakin banyak kita lihat dengan mengambil hikmah dari perjalanan yang kita lakukan. Dengan begitu, kita akan tahu hakekat penciptaan dan keberadaan diri kita. ’Enti berteduh disini’ dapat juga ditafsirkan sebagai ’usaha’ atau ’besarnya motivasi’ ’misi’ yang kita lakukan untuk mencapai tujuan tadi ’bentangan visi hidup’. The greatest thing in this world is not so much where we are, but in what direction we are moving (sesuatu yang terbesar dalam dunia ini bukanlah dimana kita berada namun kea rah mana kita akan bergerak), demikian kata Oliver Wendell Holmess. Apa yang dikatakan Holmes, semakin memperjelas maksud A.R. Moese dengan Tawar Sedenge-nya akan makna ’kiding ken cermin’ dan ’remalan enti berteduh’.
Enti mera kao tang duru (jangan mau engkau di belakang), ton jema dele (di tempat khalayak ramai). Tak bosan-bosanya, A.R. Moese kembali dan terus mengobarkan semangat kepada masyarakat Gayo melalui karyanya, duduk di belakang ’bermental kerupuk’ dalam khalayak ramai. Kita ’ bangsa Gayo’ harus tampil ’tang arap’ di depan, inisiatif, sebagai aktor utama, subjek atau pelaku di tengah-tengah masyarakat. Untuk tampil di depan, tentu tidak terlepas dari potensi diri, kualitas dan kemampuan yang kita miliki. Menyangkut kemampuan ini, Dr.-Ing. Ikhwansyah Isranuri (alumni Jerman), salah satu putra terbaik Gayo di USU (sekarang Dosen Teknik Mesin & Sekretaris Sekolah Pascasarja Teknik Mesin) menuturkan bahwa ”kemampuan otak orang Gayo terutama untuk bidang eksakta seperti ’mutiara yang ditutupi debu’”. Mudah-mudahan, apa yang dikatan doktor muda Gayo ini dapat menjadi renungan bagi kita semua.
Enti osan ku pumu jema (jangan berikan ke tangan orang lain), pesaka si ara (pusaka yang ada), tenaring ni munyang datu (peninggalan munyang datu/pendahulu negeri), ken ko bewene mu (untuk kamu semua). Melalui ini Tawar Sedenge, pengarang berpesan agar urang Gayo, tidak memberikan pusaka yang ada sebagai warisan leluhur ke tangan orang lain. Untuk itu, masyarakat Gayo harus selalu menjaga harta yang menjadi warisan lelulur tersebut baik fisik maupun non-fisik sehingga kita dapat mengapresiasi niat baik, kerja keras, tetesan-tetesan pemikiran pendahulu-pendahulu kita yang telah menghasilkan peradaban ini. Bagaimana pun, mereka ’pendahulu kita’ telah meninggalkan sesuatu buat kita hari ini. Bagaimana pun, mereka telah berbuat untuk kita hari ini. Tinggal lagi, giliran kita untuk berbuat, membuktikan dan berkarya untuk mewariskannya kepada generasi kita seterusnya. Jangan tanya orang lain namun tanya dirimu, ”Apa yang telah engkau berikan pada orang lain.” (Al Gayoni)
Uwet mi ko tanoh Gayo (bangkitlah tanah/bangsa Gayo), ko opoh bajungku (engkaulah pakaianku), ken tawar roh munyang datu (sebagai tawar untuk munyang datu/pendahulu), uwetmi masku (bangun dan bangkitlah masku). Di akhir puisinya, A. R. Moese kembali membangkitkan dan mengobarkan semangat yang tiada hentinya kepada bangsa Gayo, ”bangunlah tanah Gayo,” ”bangkitlah orang Gayo”, ”tunjukkan bahwa kamu mampu,” ”buktikan pada luluhur mu bahwa kamu bisa, ”bangkitlah,”warnai sejarah negeri ini dengan kegigihan, kerja keras, keyakinan, karya dan prestasimu.”
Bahasa Gayo: Sejarah, Perkembangan & Identitas Akhir Orang Gayo
Oleh: Yusradi Usman Al-Gayoni
(16 September 2007 – 14 Ramadhan 1428 H)
Bahasa Gayo merupakan salah satu bahasa yang ada di Nusantara. Keberadaan bahasa ini sama tuanya dengan keberadaan orang Gayo “urang Gayo” itu sendiri di Indonesia. Kita tidak bisa memisahkan bahasa Gayo dengan penuturnya “urang Gayo” dan sebaliknya. Sementara orang Gayo “urang Gayo” merupakan suku asli yang mendiami Nanggroe Aceh Darussalam. Golongan ini termasuk dalam golongan Melayu tua atau proto Melayu yang mendiami daerah ini sebelum kedatangan melayu muda termasuk orang Aceh. Mereka memiliki bahasa, adat istiadat sendiri yang membedakan identitas mereka dengan suku-suku lain yang ada di Indonesia. Daerah kediaman mereka sendiri disebut dengan tanoh Gayo (tanah Gayo), tepatnya berada di tengah-tengah propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Sejarah
Bahasa-bahasa yang ada di Nusantara masuk dalam kelompok Austranesia (Merrit Ruhlen dalam Pesona Bahasa Nusantara Menjelang Abad Ke-21: 27). Sedangkan Bahasa Gayo termasuk dalam rumpun bahasa Melayu Polinesia seperti yang disebutkan Domenyk Eades dalam bukunya A Grammar of Gayo: A Language of Aceh: Sumatra
“Gayo belongs to the Melayo-Polynesia brach of the Austranesian family of languages. Melayo-Polynesian languages spoken in Taiwan, the Philippines, mainland South-East Asia, western Indonesia…”(Domenyk 2005:4)
Bahasa ini (bahasa Gayo) merupakan bagian dari bahasa Melayu Polinesia, dan dikelompokan dalam bagian Austranesia seperti yang disebutkan Merrit Ruhlen di atas. Secara khusus, masih belum diketahui kapan dan periodesasi perkembangan bahasa ini (Gayo). Yang pasti, bahasa ini ada sejak suku ini menempati daerah ini. Orang Gayo sendiri sudah menempati Aceh (Perlak dan Pase, pantai timur dan sebagian pantai utara Aceh) sejak sebelum masehi (Ibrahim, 2002:1). Untuk menelusuri sejarah awal terbentuknya dan periodesasi bahasa ini, diperlukan kajian komprehensif dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu terutama linguistik historis, linguistik komparatif dan sosio-linguistik untuk mengetahui hal di atas secara pasti. "
Perkembangan bahasa ini kemudian tidak terlepas dari persebaran orang Gayo menjadi beberapa kelompok yaitu Gayo Lut (seputar danau Laut Tawar termasuk kabupaten Bener Meriah), Gayo Deret yaitu daerah Linge dan sekitarnya (masih merupakan bagian wilayah kabupaten Aceh Tengah), Gayo Lukup/Serbejadi (kabupaten Aceh Timur), Gayo Kalul (Aceh Tamiang), Gayo Lues (kabupaten Gayo Lues dan beberapa kecamatan di Aceh Tenggara), juga sebagian kecil terdapat di Aceh Selatan. Faktor ekonomi menjadi motivasi utama persebaran tersebut, seperti yang dijelaskan dalam bahasa adat Gayo, “ari kena nyanya ngenaken temas, ari kena empet ngenaken lues.” Artinya, disebabkan karena kehidupan yang kurang baik, (sehingga) berusaha untuk lebih baik, karena sempit (lahan pertanian, perkebunan, dan lain-lain) berusaha untuk lebih luas.”
Terjadinya persebaran tersebut turut mempengaruhi penamaan-penamaan suku Gayo, variasi dialek dan kosakata yang mereka miliki. Gayo Lokop atau Serbejadi misalnya, merupakan nama sebuah kecamatan yang ada di kabupaten Aceh Timur. Begitu juga halnya dengan Gayo Kalul dan Gayo Lues, komunitas Gayo yang masing-masing ada di hulu sungai Tamiang, Pulo Tige (kabupaten Aceh Tamiang) dan kabupaten Gayo Lues termasuk beberapa kecamatan di kabupaten Aceh Tenggara. Penamaan tersebut menggambarkan daerah hunian baru yang mereka diami. Orang-orang Gayo di kabupaten Bener Meriah masih merupakan bagian dari Gayo Lut (Takengon), yang beberapa tahun lalu, kabupaten Bener Meriah mekar dari kabupaten Aceh Tengah. Sementara, sebagian kecil komunitas Gayo di Aceh Selatan tidak menunjukan perbedaan nama seperti di tempat lain.
Variasi Dialek
Salah satu dampak dari pesebaran yang terjadi yaitu adanya variasi dialek pada bahasa Gayo. Meski demikian, perbedaan tersebut tidak mempengaruhi penutur bahasa Gayo dalam berkomunikasi satu sama lain. Pengaruh dari luar yaitu bahasa di luar bahasa Gayo turut mempengaruhi variasi dialek tersebut. Perbedaan tersebut tidak hanya pada aspek fonologi tetapi juga pada kosakata yang digunakan. Namun, untuk yang kedua (kosa kata) tidak menunjukan pengaruh yang begitu besar. Sebagai contoh, bahasa Gayo yang ada di Lokop, sedikit berbeda dengan bahasa Gayo yang ada di Gayo Kalul, Gayo Lut, Linge dan Gayo Lues. Hal tersebut disebabkan karena pengaruh bahasa Aceh yang lebih dominan di Aceh Timur. Begitu juga halnya dengan Gayo Kalul, di Aceh Tamiang, sedikit banyak terdapat pengaruh Melayu karena lebih dekat ke Sumatera Utara. Kemudian, Gayo Lues lebih dipengaruhi oleh bahasa Alas dan bahasa Karo karena interaksi yang lebih banyak dengan kedua suku tersebut lebih-lebih komunitas Gayo yang ada di kabupaten Aceh Tenggara.
Dalam hal dialek yang ada pada suku Gayo, M.J. Melalatoa membagi dialek Gayo Lut terdiri dari sub-dialek Gayo Lut dan Deret; sedangkan Bukit dan Cik merupakan sub-subdialek. Demikian pula dengan dialek Gayo Lues terdiri dari sub-dialek Gayo Lues dan Serbejadi. Sub-dialek Serbejadi sendiri meliputi sub-sub dialek Serbejadi dan Lukup (1981:53). Sementara Baihaqi Ak., dkk menyebut jumlah dialek bahasa Gayo sesuai dengan persebaran suku Gayo tadi (Gayo Lut, Deret, Gayo Lues, Lokop/Serbejadi dan Kalul). Namun demikian, dialek Gayo Lues, Gayo Lut, Gayo Lukup/Serbejadi dan Gayo Deret dapat dikatakan sama atau amat berdekatan. Di Gayo Lut sendiri terdapat dua dialek yang disana dinamakan dialek Bukit dan Cik (1981:1).
Dalam bahasa Gayo, kita juga mengenal tingkat kesopanan yang ditunjukan dengan tutur (memanggil seseorang) dengan panggilan yang berbeda. Hal tersebut menunjukan tata krama, sopan santun, rasa hormat, penghargaan dan kasih sayang. Kepada orang tua, misalnya, akan memiliki tutur yang berbeda dengan anak-anak. Dapat kita contohkan, pemakaian ko dan kam, yang keduanya berarti kamu (anda) Panggilan ko biasa digunakan dari orang tua dan/atau lebih tua kepada yang lebih muda, sebaliknya, terasa janggal atau tidak sopan bila yang muda menggunakan kata ini kepada orang yang lebih tua. Kata kam sendiri lebih sopan dibandingkan dengan ko. Selain itu, kam ini menunjukan makna jamak dan panggilan intim antara suami istri. Tambahan pula, bahasa Gayo Lut dinilai lebih sopan dan halus dibandingkan dengan bahasa Gayo lainnya.
Fungsi
Dalam pergaulan sehari-hari antar orang Gayo, bahasa ini berfungsi sebagai alat komunikasi. Meski terdapat adanya perbedaan dialek dan kosakata dalam bahasa Gayo seperti yang disebutkan sebelumnya (Gayo Lut, Gayo Deret, Gayo Lues, Lokop dan Kalul), namun perbedaan tersebut tidak menjadi persoalan yang berarti dalam proses komunikasi antar penutur bahasa Gayo. Perbedaan dialek dan kosakata tersebut menjadi cerminan kayanya kandungan bahasa Gayo. Kedua, bahasa ini berfungsi sebagai bahasa pengantar terutama pada periode awal penyebaran Islam dan dalam dunia pendidikan. Dapat kita lihat pada saman, didong dan beberapa sastra lisan Gayo lainnya. Dengan demikian, proses peyampaian menjadi lebih efektif dan mudah dimengerti oleh masyarakat. Di kota Takengon sendiri, yang multietnis dan multikultural, bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar untuk berkomunikasi. Ketiga, sebagai identitas; melalui bahasa, kita dapat mengetahui kepribadian, identitas dan budaya bangsa lain, begitu juga halnya dengan bahasa Gayo. Pada akhirnya, keberadaan bahasa menjadikan penuturnya bangga akan kepemilikan bahasa yang bersangkutan. Demikian halnya bagi orang Gayo, bahasa Gayo menjadi kebanggaan tersendiri bagi para penuturnya.
Bahasa Gayo “Hari Ini”
Bahasa Gayo terus mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan yang terjadi. Pengaruh bahasa luar turut mempengaruhi bahasa Gayo terutama dalam koleksi perbendaharaan kata-kata, misalnya dari bahasa Arab, Melayu, Batak, Aceh, Karo, Belanda, Jepang, bahasa Indonesia, dan lain-lain. Pengaruh yang dimaksud tidak terlepas dari kehadiran dan interaksi suku-suku dimaksud dengan orang Gayo. Sebagai contoh, bahasa Arab, pengaruh ini erat kaitannya saat penyebaran awal Islam ke Aceh, yang mana orang Gayo sebagai suku asli telah lebih dahulu mendiami daerah ini (Aceh). Sebagai akibatnya, pengaruh bahasa Arab ke dalam bahasa Gayo cukup dirasakan. Selain itu, sebelum abad ke-16, sudah terdapat orang Melayu, Batak dan beberapa suku lainnya untuk mencari penghidupan di daerah ini. Selain itu, pengaruh kerje angkap (perkawinan angkap) yang ada pada masyarakat Gayo turut mempengaruhi keberadaan suku-suku ini terutama dari suku Aceh. Disamping itu, pengaruh Batak&Karo sendiri dirasakan karena kontak dagang orang Gayo-Karo di Gayo Lues, Kotacana & Karo, Sumatera Utara. Pada saat itu, komoditi yang menjadi andalan Gayo adalah tembakau. Selain itu, juga terdapat kopi Gayo, bahkan teh redelong yang sudah merambah ke pasar Eropa. Pada abad ke-16, datang pula Karo-27 ke dataran tinggi tanoh Gayo dibawah pimpinan Leube Kader. Saat ini, mereka ada di daerah Bebesen atau dikenal dengan kerajaan Cik Bebesen. Penulis sendiri lebih menyebut Karo-27 daripada Batak-27 dengan melihat sejarah dan beberapa perbedaan antara kedua suku bangsa tersebut, dengan melihat keturunan mereka di daerah Bebesen hari ini. Namun, bukan berarti, semua masyarakat Bebesen hari ini adalah keturunan Karo 27.
Kedatangan kolonialis Belanda ke daerah ini; perjalanan ke tanoh Gayo mulai tahun 1901 (Hurgronje, 1996: XVIII), turut menambah serapan bahasa Belanda pada bahasa Gayo. Beberapa contoh misalnya, arloji, disentri, kamar, lapor, martil dan reken (Baihaqi, 1981: 34) Begitu juga halnya dengan kedatangan Jepang tahun 1942. Pada umumnya, unsur serapan tersebut diterima dalam bentuk asli atau kadang-kadang mengalami variasi bunyi dalam penyesuaian dengan pengucapan wilayah penuturan (Baihaqi, 1981: 32). Dewasa ini, bahasa Indonesia sendiri menunjukkan pengaruh yang cukup besar dalam serapan bahasa Gayo. Hal tersebut sangat memungkinkan karena bahasa ini digunakan sebagai sarana komunikasi oleh masyarakat Gayo.
Dari segi pemakaian bahasa, penutur bahasa Gayo mulai menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari. Gejala ini dapat kita lihat di kota Takengon. Takengon merupakan kota kecil yang menunjukan keberagaman etnik dan kultural; mulai dari orang Gayo sebagai mayoritas, Aceh, Jawa, Padang, Cina, Batak, Karo, Mandailing, Sunda, dan lain-lain. Tidak hanya sekarang, gambaran keberagaman (multikultul) tadi jauh sudah tercipta seperti yang penulis sebutkan di atas. Penulis melihat, ada sebuah kecenderungan untuk memakai bahasa Indonesia ketimbang bahasa Gayo dalam pergaulan sehari-hari antar penutur bahasa Gayo. Kejadian ini tidak semata terjadi di dalam keluarga, yang notabene Gayo, tetapi juga di dalam masyarakat. Bahkan dalam percakapan sehari-hari, penulis melihat kerap terjadi gejala code mixing atau campur kode. Maksudnya, beberapa serpihan kata non-bahasa Gayo masuk ke dalam kalimat tersebut. Salah satu contoh menarik misalnya, please dong geh; disini kita memperhatikan, ada tiga bahasa sekaligus yaitu bahasa Inggris, Indonesia dan Gayo. kecenderungan ini umum terjadi di masyarakat Gayo dewasa ini karena pengaruh teknologi dan informasi terutama pengaruh media elektronik. Gambaran campur kode (code mixing) dan code switching (alih kode) tersebut dapat dilihat dalam penelitian sarjana penulis tentang pemakaian bahasa oleh mahasiswa Gayo yang kuliah di USU (Al Gayoni, 2006: 24-25, 27-37)
Selain faktor yang telah disebutkan di atas, pemakaian bahasa Indonesia turut mempengaruhi fenomena ini yaitu sebagai bahasa pengantar pada proses pembelajaran di sekolah, kampus, lembaga pemerintahan, kegiatan-kegiatan keagamaan, dan lain-lain. Tidak seperti bahasa daerah lain di Indonesia, bahasa Gayo sendiri kurang mendapat ruang dan tempat dalam muatan lokal di sekolah-sekolah. Padahal, dunia pendidikan merupakan sarana yang efektif untuk mempertahankan dan membumikan bahasa daerah, begitu juga halnya dengan bahasa Gayo.
Berbeda dengan kondisi di Aceh, di luar Aceh, seperti di Medan, Jakarta, Yogyakarta, Semarang dan Malang, orang Gayo lebih menggunakan bahasa Gayo dalam berkomunikasi satu sama lain. Hal tersebut sebagai wujud kerinduan berbahasa Gayo, kebanggaan dan identitas mereka sebagai orang Gayo di perantauan. Akan tetapi, mereka akan beralih ke bahasa Indonesia bilamana terdapat penutur non-Gayo dalam percakapan mereka. Perubahan dari bahasa Gayo ke bahasa Indonesia (code switching) ini dilakukan sebagai wujud penghormatan, penghargaan dan toleransi mereka kepada penutur yang berlainan tersebut (Al Gayoni, 2006: 38-40)
Lebih jauh dari gambaran di atas, penulis melihat terjadi penurunan kualitas berbahasa Gayo pada generasi sekarang dan mendatang. Bisa kita lihat dari berbagai kasus code mixing (campur kode yang terjadi) pada keseharian berbahasa penutur bahasa Gayo. Pengaruh perkembangan teknologi & informasi dan bahasa di luar bahasa Gayo memiliki pengaruh yang besar akan hal ini. Dalam bidang pertanian katakanlah, dewasa ini, prosesi pertanian tempo dulu, tidak lagi kita temui. Sebagai akibatnya, generasi kita hari ini tidak lagi mengenal istilah-istilah dalam bidang di atas. Ironisnya, masyarakat Gayo terlebih pemerintah hanya diam melihat perubahan yang terjadi tanpa mengambil sebuah inisiatif, rencana dan aksi lebih lanjut. Begitu juga halnya dalam sastra lisan Gayo; melengkan, didong, syaer, dan lain-lain, alih pengalaman/generasi dari pelaku budaya sepuh tidak terjadi kepada yang muda. Sehingga ketika perginya pelaku budaya senior seperti Prof. M. Daud Ali, Prof. M.J. Melalatoa, A. R. Hakim Aman Pinan, A. R. Moese, kita kehilangan banyak dan menanti lahirnya budayawan sepuh beratus tahun lagi, karena seiring dengan pergantian waktu, budaya Gayo pun akan hilang. Penulis beranggapan, setelah generasi 60-an, budaya Gayo mulai kehilangan arah karena tidak adanya alih generasi, minimnya catatan tertulis serta sikap sebagian besar masyarakat Gayo dan pemerintah yang kurang menaruh perhatian mengenai masalah ini. Saat itu, kita akan mengalami kelangkaan prihal orang yang mengetahui tentang budaya kita sendiri sehingga kita akan bertanya dan berguru kepada orang dan bangsa lain. Disamping faktor yang telah disebutkan di atas, yang menjadi penentu bertahan atau tidaknya bahasa Gayo dan kebudayaan Gayo secara umum adalah kemauan, sikap dan langkah nyata dari masyarakat Gayo menyangkut keberadaan bahasa dan warisan adiluhung munyang datu tersebut (budaya Gayo umumnya).
Identitas Akhir Orang Gayo
Bahasa ini (bahasa Gayo) akan menjadi identitas akhir orang Gayo. Meski orang Gayo memiliki budaya yang kaya, namun warisan tersebut hanya dijadikan aksi seremonial dan pelengkap identitas pelakunya, karena pada hakekatnya mereka jauh dari keluhuran-keluhuran nilai-nilai lokal tersebut. Memang selama orang Gayo masih ada dalam kehidupan ini, kemungkinan bahasa Gayo akan tetap ada. Namun, tidak ada sebuah garansi, bahasa Gayo akan tetap bertahan, terus dipakai dan dipelihara masyarakatnya seiring perubahan zaman yang begitu cepat dan sikap dari penuturnya sendiri. Sewaktu, suku bangsa ini mulai membelakangi bahasa ini, maka hilanglah identitas dan orang Gayo itu sendiri, tinggal kita menunggu waktu.
Kita tidak mau, kekhawatiran dan mimpi buruk di atas menjadi kenyataan, bahasa Gayo akan menjadi bahasa klasik di negeri sendiri dan generasi kita mendatang tidak tahu sama sekali prihal bahasa Gayo, mereka hanya menemukan beberapa lembar kertas usang di museum, tapi sayang untuk museum saja kita juga tidak punya. Karenanya, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk mengamil inisiatif, rencana dan langkah nyata prihal penyelamatan bahasa dan budaya Gayo, begitu juga halnya pemerhati dan pelaku budaya sendiri. Pemerhati dan pelaku budaya sendiri akan berjalan tertatih dan tidak maksimal bila tidak ada dukungan, perhatian dan penghargaan dari pemerintah seperti yang terjadi selama ini. Karenanya, kita menggantungkan harapan besar kepada pemerintah, reje yang memimpin saat ini dan masa mendatang untuk menaruh kepedulian, perhatian serta melakukan langkah nyata dan bersama menyangkut penyelamatan ini.
Sumber Bacaan
Akbar, Osra M.,dkk 1985. Pemetaan Bahasa Aceh, Gayo, dan Alas. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
Al Gayoni, Yusradi Usman. 2006. The Use Of Vernacular Language Among The Gayo Students of North Sumatera University. Medan: North Sumatera University
------------ 2006. Bahasa Gayo?. Takengon: Teganing
Baihaqi A.K., dkk. 1981. Bahasa Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
Eades, Domenyk. 2005. A Grammar of Gayo: A Language of Aceh, Sumatra. Australia. Pasific Linguistics Research School of Pacific and Asian Studies.
Hurgronje, C. Snouck. 1996. Tanah Gayo Dan Penduduknya. Jakarta. Indonesian-Netherlands Cooperation Studies (INIS)
Hurgronje, C. Snouck. 1996. Gayo, Masyarakat dan Kebudayaannnya Awal Abad Ke-20. Jakarta: Balai Pustaka
Ibrahim, Idris.,dkk. 1984. Sistem Perulangan Bahasa Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
Ibrahim, Mahmud. 2002. Syariat Dan Adat Istiadat I. Takengon: Yayasan Maqamam Mahmuda.
Makam, Ibrahim., dkk. 1985. Kata Tugas Bahasa Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
Melalatoa, M.J., 1981. Kebudayaan Gayo. Jakarta: Balai Pustaka
------------.,dkk. 1985. Kamus Bahasa Gayo-Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
Simbolon, Parakitri T. 1999. Pesona Bahasa Nusantara Menjelang Abad Ke-21. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Kemasyarakatan dan Kedudayaan (PMB)-LIPI dan The Ford Foundation
(16 September 2007 – 14 Ramadhan 1428 H)
Bahasa Gayo merupakan salah satu bahasa yang ada di Nusantara. Keberadaan bahasa ini sama tuanya dengan keberadaan orang Gayo “urang Gayo” itu sendiri di Indonesia. Kita tidak bisa memisahkan bahasa Gayo dengan penuturnya “urang Gayo” dan sebaliknya. Sementara orang Gayo “urang Gayo” merupakan suku asli yang mendiami Nanggroe Aceh Darussalam. Golongan ini termasuk dalam golongan Melayu tua atau proto Melayu yang mendiami daerah ini sebelum kedatangan melayu muda termasuk orang Aceh. Mereka memiliki bahasa, adat istiadat sendiri yang membedakan identitas mereka dengan suku-suku lain yang ada di Indonesia. Daerah kediaman mereka sendiri disebut dengan tanoh Gayo (tanah Gayo), tepatnya berada di tengah-tengah propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Sejarah
Bahasa-bahasa yang ada di Nusantara masuk dalam kelompok Austranesia (Merrit Ruhlen dalam Pesona Bahasa Nusantara Menjelang Abad Ke-21: 27). Sedangkan Bahasa Gayo termasuk dalam rumpun bahasa Melayu Polinesia seperti yang disebutkan Domenyk Eades dalam bukunya A Grammar of Gayo: A Language of Aceh: Sumatra
“Gayo belongs to the Melayo-Polynesia brach of the Austranesian family of languages. Melayo-Polynesian languages spoken in Taiwan, the Philippines, mainland South-East Asia, western Indonesia…”(Domenyk 2005:4)
Bahasa ini (bahasa Gayo) merupakan bagian dari bahasa Melayu Polinesia, dan dikelompokan dalam bagian Austranesia seperti yang disebutkan Merrit Ruhlen di atas. Secara khusus, masih belum diketahui kapan dan periodesasi perkembangan bahasa ini (Gayo). Yang pasti, bahasa ini ada sejak suku ini menempati daerah ini. Orang Gayo sendiri sudah menempati Aceh (Perlak dan Pase, pantai timur dan sebagian pantai utara Aceh) sejak sebelum masehi (Ibrahim, 2002:1). Untuk menelusuri sejarah awal terbentuknya dan periodesasi bahasa ini, diperlukan kajian komprehensif dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu terutama linguistik historis, linguistik komparatif dan sosio-linguistik untuk mengetahui hal di atas secara pasti. "
Perkembangan bahasa ini kemudian tidak terlepas dari persebaran orang Gayo menjadi beberapa kelompok yaitu Gayo Lut (seputar danau Laut Tawar termasuk kabupaten Bener Meriah), Gayo Deret yaitu daerah Linge dan sekitarnya (masih merupakan bagian wilayah kabupaten Aceh Tengah), Gayo Lukup/Serbejadi (kabupaten Aceh Timur), Gayo Kalul (Aceh Tamiang), Gayo Lues (kabupaten Gayo Lues dan beberapa kecamatan di Aceh Tenggara), juga sebagian kecil terdapat di Aceh Selatan. Faktor ekonomi menjadi motivasi utama persebaran tersebut, seperti yang dijelaskan dalam bahasa adat Gayo, “ari kena nyanya ngenaken temas, ari kena empet ngenaken lues.” Artinya, disebabkan karena kehidupan yang kurang baik, (sehingga) berusaha untuk lebih baik, karena sempit (lahan pertanian, perkebunan, dan lain-lain) berusaha untuk lebih luas.”
Terjadinya persebaran tersebut turut mempengaruhi penamaan-penamaan suku Gayo, variasi dialek dan kosakata yang mereka miliki. Gayo Lokop atau Serbejadi misalnya, merupakan nama sebuah kecamatan yang ada di kabupaten Aceh Timur. Begitu juga halnya dengan Gayo Kalul dan Gayo Lues, komunitas Gayo yang masing-masing ada di hulu sungai Tamiang, Pulo Tige (kabupaten Aceh Tamiang) dan kabupaten Gayo Lues termasuk beberapa kecamatan di kabupaten Aceh Tenggara. Penamaan tersebut menggambarkan daerah hunian baru yang mereka diami. Orang-orang Gayo di kabupaten Bener Meriah masih merupakan bagian dari Gayo Lut (Takengon), yang beberapa tahun lalu, kabupaten Bener Meriah mekar dari kabupaten Aceh Tengah. Sementara, sebagian kecil komunitas Gayo di Aceh Selatan tidak menunjukan perbedaan nama seperti di tempat lain.
Variasi Dialek
Salah satu dampak dari pesebaran yang terjadi yaitu adanya variasi dialek pada bahasa Gayo. Meski demikian, perbedaan tersebut tidak mempengaruhi penutur bahasa Gayo dalam berkomunikasi satu sama lain. Pengaruh dari luar yaitu bahasa di luar bahasa Gayo turut mempengaruhi variasi dialek tersebut. Perbedaan tersebut tidak hanya pada aspek fonologi tetapi juga pada kosakata yang digunakan. Namun, untuk yang kedua (kosa kata) tidak menunjukan pengaruh yang begitu besar. Sebagai contoh, bahasa Gayo yang ada di Lokop, sedikit berbeda dengan bahasa Gayo yang ada di Gayo Kalul, Gayo Lut, Linge dan Gayo Lues. Hal tersebut disebabkan karena pengaruh bahasa Aceh yang lebih dominan di Aceh Timur. Begitu juga halnya dengan Gayo Kalul, di Aceh Tamiang, sedikit banyak terdapat pengaruh Melayu karena lebih dekat ke Sumatera Utara. Kemudian, Gayo Lues lebih dipengaruhi oleh bahasa Alas dan bahasa Karo karena interaksi yang lebih banyak dengan kedua suku tersebut lebih-lebih komunitas Gayo yang ada di kabupaten Aceh Tenggara.
Dalam hal dialek yang ada pada suku Gayo, M.J. Melalatoa membagi dialek Gayo Lut terdiri dari sub-dialek Gayo Lut dan Deret; sedangkan Bukit dan Cik merupakan sub-subdialek. Demikian pula dengan dialek Gayo Lues terdiri dari sub-dialek Gayo Lues dan Serbejadi. Sub-dialek Serbejadi sendiri meliputi sub-sub dialek Serbejadi dan Lukup (1981:53). Sementara Baihaqi Ak., dkk menyebut jumlah dialek bahasa Gayo sesuai dengan persebaran suku Gayo tadi (Gayo Lut, Deret, Gayo Lues, Lokop/Serbejadi dan Kalul). Namun demikian, dialek Gayo Lues, Gayo Lut, Gayo Lukup/Serbejadi dan Gayo Deret dapat dikatakan sama atau amat berdekatan. Di Gayo Lut sendiri terdapat dua dialek yang disana dinamakan dialek Bukit dan Cik (1981:1).
Dalam bahasa Gayo, kita juga mengenal tingkat kesopanan yang ditunjukan dengan tutur (memanggil seseorang) dengan panggilan yang berbeda. Hal tersebut menunjukan tata krama, sopan santun, rasa hormat, penghargaan dan kasih sayang. Kepada orang tua, misalnya, akan memiliki tutur yang berbeda dengan anak-anak. Dapat kita contohkan, pemakaian ko dan kam, yang keduanya berarti kamu (anda) Panggilan ko biasa digunakan dari orang tua dan/atau lebih tua kepada yang lebih muda, sebaliknya, terasa janggal atau tidak sopan bila yang muda menggunakan kata ini kepada orang yang lebih tua. Kata kam sendiri lebih sopan dibandingkan dengan ko. Selain itu, kam ini menunjukan makna jamak dan panggilan intim antara suami istri. Tambahan pula, bahasa Gayo Lut dinilai lebih sopan dan halus dibandingkan dengan bahasa Gayo lainnya.
Fungsi
Dalam pergaulan sehari-hari antar orang Gayo, bahasa ini berfungsi sebagai alat komunikasi. Meski terdapat adanya perbedaan dialek dan kosakata dalam bahasa Gayo seperti yang disebutkan sebelumnya (Gayo Lut, Gayo Deret, Gayo Lues, Lokop dan Kalul), namun perbedaan tersebut tidak menjadi persoalan yang berarti dalam proses komunikasi antar penutur bahasa Gayo. Perbedaan dialek dan kosakata tersebut menjadi cerminan kayanya kandungan bahasa Gayo. Kedua, bahasa ini berfungsi sebagai bahasa pengantar terutama pada periode awal penyebaran Islam dan dalam dunia pendidikan. Dapat kita lihat pada saman, didong dan beberapa sastra lisan Gayo lainnya. Dengan demikian, proses peyampaian menjadi lebih efektif dan mudah dimengerti oleh masyarakat. Di kota Takengon sendiri, yang multietnis dan multikultural, bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar untuk berkomunikasi. Ketiga, sebagai identitas; melalui bahasa, kita dapat mengetahui kepribadian, identitas dan budaya bangsa lain, begitu juga halnya dengan bahasa Gayo. Pada akhirnya, keberadaan bahasa menjadikan penuturnya bangga akan kepemilikan bahasa yang bersangkutan. Demikian halnya bagi orang Gayo, bahasa Gayo menjadi kebanggaan tersendiri bagi para penuturnya.
Bahasa Gayo “Hari Ini”
Bahasa Gayo terus mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan yang terjadi. Pengaruh bahasa luar turut mempengaruhi bahasa Gayo terutama dalam koleksi perbendaharaan kata-kata, misalnya dari bahasa Arab, Melayu, Batak, Aceh, Karo, Belanda, Jepang, bahasa Indonesia, dan lain-lain. Pengaruh yang dimaksud tidak terlepas dari kehadiran dan interaksi suku-suku dimaksud dengan orang Gayo. Sebagai contoh, bahasa Arab, pengaruh ini erat kaitannya saat penyebaran awal Islam ke Aceh, yang mana orang Gayo sebagai suku asli telah lebih dahulu mendiami daerah ini (Aceh). Sebagai akibatnya, pengaruh bahasa Arab ke dalam bahasa Gayo cukup dirasakan. Selain itu, sebelum abad ke-16, sudah terdapat orang Melayu, Batak dan beberapa suku lainnya untuk mencari penghidupan di daerah ini. Selain itu, pengaruh kerje angkap (perkawinan angkap) yang ada pada masyarakat Gayo turut mempengaruhi keberadaan suku-suku ini terutama dari suku Aceh. Disamping itu, pengaruh Batak&Karo sendiri dirasakan karena kontak dagang orang Gayo-Karo di Gayo Lues, Kotacana & Karo, Sumatera Utara. Pada saat itu, komoditi yang menjadi andalan Gayo adalah tembakau. Selain itu, juga terdapat kopi Gayo, bahkan teh redelong yang sudah merambah ke pasar Eropa. Pada abad ke-16, datang pula Karo-27 ke dataran tinggi tanoh Gayo dibawah pimpinan Leube Kader. Saat ini, mereka ada di daerah Bebesen atau dikenal dengan kerajaan Cik Bebesen. Penulis sendiri lebih menyebut Karo-27 daripada Batak-27 dengan melihat sejarah dan beberapa perbedaan antara kedua suku bangsa tersebut, dengan melihat keturunan mereka di daerah Bebesen hari ini. Namun, bukan berarti, semua masyarakat Bebesen hari ini adalah keturunan Karo 27.
Kedatangan kolonialis Belanda ke daerah ini; perjalanan ke tanoh Gayo mulai tahun 1901 (Hurgronje, 1996: XVIII), turut menambah serapan bahasa Belanda pada bahasa Gayo. Beberapa contoh misalnya, arloji, disentri, kamar, lapor, martil dan reken (Baihaqi, 1981: 34) Begitu juga halnya dengan kedatangan Jepang tahun 1942. Pada umumnya, unsur serapan tersebut diterima dalam bentuk asli atau kadang-kadang mengalami variasi bunyi dalam penyesuaian dengan pengucapan wilayah penuturan (Baihaqi, 1981: 32). Dewasa ini, bahasa Indonesia sendiri menunjukkan pengaruh yang cukup besar dalam serapan bahasa Gayo. Hal tersebut sangat memungkinkan karena bahasa ini digunakan sebagai sarana komunikasi oleh masyarakat Gayo.
Dari segi pemakaian bahasa, penutur bahasa Gayo mulai menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari. Gejala ini dapat kita lihat di kota Takengon. Takengon merupakan kota kecil yang menunjukan keberagaman etnik dan kultural; mulai dari orang Gayo sebagai mayoritas, Aceh, Jawa, Padang, Cina, Batak, Karo, Mandailing, Sunda, dan lain-lain. Tidak hanya sekarang, gambaran keberagaman (multikultul) tadi jauh sudah tercipta seperti yang penulis sebutkan di atas. Penulis melihat, ada sebuah kecenderungan untuk memakai bahasa Indonesia ketimbang bahasa Gayo dalam pergaulan sehari-hari antar penutur bahasa Gayo. Kejadian ini tidak semata terjadi di dalam keluarga, yang notabene Gayo, tetapi juga di dalam masyarakat. Bahkan dalam percakapan sehari-hari, penulis melihat kerap terjadi gejala code mixing atau campur kode. Maksudnya, beberapa serpihan kata non-bahasa Gayo masuk ke dalam kalimat tersebut. Salah satu contoh menarik misalnya, please dong geh; disini kita memperhatikan, ada tiga bahasa sekaligus yaitu bahasa Inggris, Indonesia dan Gayo. kecenderungan ini umum terjadi di masyarakat Gayo dewasa ini karena pengaruh teknologi dan informasi terutama pengaruh media elektronik. Gambaran campur kode (code mixing) dan code switching (alih kode) tersebut dapat dilihat dalam penelitian sarjana penulis tentang pemakaian bahasa oleh mahasiswa Gayo yang kuliah di USU (Al Gayoni, 2006: 24-25, 27-37)
Selain faktor yang telah disebutkan di atas, pemakaian bahasa Indonesia turut mempengaruhi fenomena ini yaitu sebagai bahasa pengantar pada proses pembelajaran di sekolah, kampus, lembaga pemerintahan, kegiatan-kegiatan keagamaan, dan lain-lain. Tidak seperti bahasa daerah lain di Indonesia, bahasa Gayo sendiri kurang mendapat ruang dan tempat dalam muatan lokal di sekolah-sekolah. Padahal, dunia pendidikan merupakan sarana yang efektif untuk mempertahankan dan membumikan bahasa daerah, begitu juga halnya dengan bahasa Gayo.
Berbeda dengan kondisi di Aceh, di luar Aceh, seperti di Medan, Jakarta, Yogyakarta, Semarang dan Malang, orang Gayo lebih menggunakan bahasa Gayo dalam berkomunikasi satu sama lain. Hal tersebut sebagai wujud kerinduan berbahasa Gayo, kebanggaan dan identitas mereka sebagai orang Gayo di perantauan. Akan tetapi, mereka akan beralih ke bahasa Indonesia bilamana terdapat penutur non-Gayo dalam percakapan mereka. Perubahan dari bahasa Gayo ke bahasa Indonesia (code switching) ini dilakukan sebagai wujud penghormatan, penghargaan dan toleransi mereka kepada penutur yang berlainan tersebut (Al Gayoni, 2006: 38-40)
Lebih jauh dari gambaran di atas, penulis melihat terjadi penurunan kualitas berbahasa Gayo pada generasi sekarang dan mendatang. Bisa kita lihat dari berbagai kasus code mixing (campur kode yang terjadi) pada keseharian berbahasa penutur bahasa Gayo. Pengaruh perkembangan teknologi & informasi dan bahasa di luar bahasa Gayo memiliki pengaruh yang besar akan hal ini. Dalam bidang pertanian katakanlah, dewasa ini, prosesi pertanian tempo dulu, tidak lagi kita temui. Sebagai akibatnya, generasi kita hari ini tidak lagi mengenal istilah-istilah dalam bidang di atas. Ironisnya, masyarakat Gayo terlebih pemerintah hanya diam melihat perubahan yang terjadi tanpa mengambil sebuah inisiatif, rencana dan aksi lebih lanjut. Begitu juga halnya dalam sastra lisan Gayo; melengkan, didong, syaer, dan lain-lain, alih pengalaman/generasi dari pelaku budaya sepuh tidak terjadi kepada yang muda. Sehingga ketika perginya pelaku budaya senior seperti Prof. M. Daud Ali, Prof. M.J. Melalatoa, A. R. Hakim Aman Pinan, A. R. Moese, kita kehilangan banyak dan menanti lahirnya budayawan sepuh beratus tahun lagi, karena seiring dengan pergantian waktu, budaya Gayo pun akan hilang. Penulis beranggapan, setelah generasi 60-an, budaya Gayo mulai kehilangan arah karena tidak adanya alih generasi, minimnya catatan tertulis serta sikap sebagian besar masyarakat Gayo dan pemerintah yang kurang menaruh perhatian mengenai masalah ini. Saat itu, kita akan mengalami kelangkaan prihal orang yang mengetahui tentang budaya kita sendiri sehingga kita akan bertanya dan berguru kepada orang dan bangsa lain. Disamping faktor yang telah disebutkan di atas, yang menjadi penentu bertahan atau tidaknya bahasa Gayo dan kebudayaan Gayo secara umum adalah kemauan, sikap dan langkah nyata dari masyarakat Gayo menyangkut keberadaan bahasa dan warisan adiluhung munyang datu tersebut (budaya Gayo umumnya).
Identitas Akhir Orang Gayo
Bahasa ini (bahasa Gayo) akan menjadi identitas akhir orang Gayo. Meski orang Gayo memiliki budaya yang kaya, namun warisan tersebut hanya dijadikan aksi seremonial dan pelengkap identitas pelakunya, karena pada hakekatnya mereka jauh dari keluhuran-keluhuran nilai-nilai lokal tersebut. Memang selama orang Gayo masih ada dalam kehidupan ini, kemungkinan bahasa Gayo akan tetap ada. Namun, tidak ada sebuah garansi, bahasa Gayo akan tetap bertahan, terus dipakai dan dipelihara masyarakatnya seiring perubahan zaman yang begitu cepat dan sikap dari penuturnya sendiri. Sewaktu, suku bangsa ini mulai membelakangi bahasa ini, maka hilanglah identitas dan orang Gayo itu sendiri, tinggal kita menunggu waktu.
Kita tidak mau, kekhawatiran dan mimpi buruk di atas menjadi kenyataan, bahasa Gayo akan menjadi bahasa klasik di negeri sendiri dan generasi kita mendatang tidak tahu sama sekali prihal bahasa Gayo, mereka hanya menemukan beberapa lembar kertas usang di museum, tapi sayang untuk museum saja kita juga tidak punya. Karenanya, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk mengamil inisiatif, rencana dan langkah nyata prihal penyelamatan bahasa dan budaya Gayo, begitu juga halnya pemerhati dan pelaku budaya sendiri. Pemerhati dan pelaku budaya sendiri akan berjalan tertatih dan tidak maksimal bila tidak ada dukungan, perhatian dan penghargaan dari pemerintah seperti yang terjadi selama ini. Karenanya, kita menggantungkan harapan besar kepada pemerintah, reje yang memimpin saat ini dan masa mendatang untuk menaruh kepedulian, perhatian serta melakukan langkah nyata dan bersama menyangkut penyelamatan ini.
Sumber Bacaan
Akbar, Osra M.,dkk 1985. Pemetaan Bahasa Aceh, Gayo, dan Alas. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
Al Gayoni, Yusradi Usman. 2006. The Use Of Vernacular Language Among The Gayo Students of North Sumatera University. Medan: North Sumatera University
------------ 2006. Bahasa Gayo?. Takengon: Teganing
Baihaqi A.K., dkk. 1981. Bahasa Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
Eades, Domenyk. 2005. A Grammar of Gayo: A Language of Aceh, Sumatra. Australia. Pasific Linguistics Research School of Pacific and Asian Studies.
Hurgronje, C. Snouck. 1996. Tanah Gayo Dan Penduduknya. Jakarta. Indonesian-Netherlands Cooperation Studies (INIS)
Hurgronje, C. Snouck. 1996. Gayo, Masyarakat dan Kebudayaannnya Awal Abad Ke-20. Jakarta: Balai Pustaka
Ibrahim, Idris.,dkk. 1984. Sistem Perulangan Bahasa Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
Ibrahim, Mahmud. 2002. Syariat Dan Adat Istiadat I. Takengon: Yayasan Maqamam Mahmuda.
Makam, Ibrahim., dkk. 1985. Kata Tugas Bahasa Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
Melalatoa, M.J., 1981. Kebudayaan Gayo. Jakarta: Balai Pustaka
------------.,dkk. 1985. Kamus Bahasa Gayo-Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
Simbolon, Parakitri T. 1999. Pesona Bahasa Nusantara Menjelang Abad Ke-21. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Kemasyarakatan dan Kedudayaan (PMB)-LIPI dan The Ford Foundation
Langganan:
Postingan (Atom)