Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
Martabat bahasa ialah tinggi atau rendahnya derajat bahasa di mata para pemakainya atau di mata orang asing; banyak atau sedikitnya rasa hormat yang diberikan orang terhadapnya (Soepomo, 2003:29). Masih menurut Soepomo, yang menentukan derajat bahasa adalah kemampuan bahasa sebagai alat komunikasi. Semakin besar kemampuan bahasa untuk menyampaikan segala macam cipta, rasa dan karya yang ada dalam masyarakat, maka semakin tinggi pula derajat bahasa. Semakin hebat keadaan register khusus suatu bahasa, semakin hebat pula martabat bahasa itu. Register sendiri merupakan yang dapat dipakai untuk menyampaikan segala macam pesan dalam pelbagai kehidupan terutama di bidang kebudayaan seperti agama, seni, ilmu, politik dan peradilan. Biasanya dengan perkembangan peradaban yang terjadi, berkembang pula register khusus tadi.
Soepomo menambahkan, untuk membuat bahasa memiliki kemampuan, maka bahasa tadi harus dipakai secara kreatif. Dalam kenyataannya sekarang, banyak bahasa daerah yang tidak dipakai lagi. Sebaliknya, pemakaian bahasa daerah telah digantikan bahasa Indonesia. Hal tersebut disebabkan karena bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional mempunyai makna resmi, modern, bergengi tinggi, menarik semangat persatuan nasional dan kurang begitu akrab. Sebaliknya, bahasa daerah, meski bersifat akrab, namun dianggap tradisional, menarik solidaritas kedaerahan dan kurang bergensi. Selain itu, agar memiliki kemampuan, bahasa harus memiliki aksara sehari-hari. Sistem tulis tersebut tidak perlu asli. Tapi, dapat diambil dari negara lain. Lalu, disesuaikan dengan kebutuhan suatu bahasa. Akibatnya, sistem tulis dapat merekam hal-hal penting dari pelbagai segi kehidupan. Pada akhirnya, sistem tulis akan mengarah pada standarisasi atau pembakuan (Soepomo, 2003:30-51, 98).
Bahasa Gayo misalnya, saat ini, bahasa Gayo sudah mulai ditinggalkan penuturnya. Bahasa Gayo sudah mulai digantikan bahasa Indonesia. Gejala kurangnya penggunaan bahasa Gayo terjadi terutama di Takengon dan Bener Meriah. Bahkan di luar Aceh, orang Gayo senantiasa dan bangga berbahasa Gayo. Hal tersebut bertujuan untuk menarik solidaritas kedaerahan, meningkatkan keakraban, menunjukkan kebanggaan dan identitas penutur bahasa ini yaitu urang, suku Gayo. Selanjutnya, bahasa Indonesia banyak dipakai dalam banyak peristiwa tutur di keluarga, masyarakat, pemerintahan, pertemuan formal dan pertemuan informal, jual beli di pasar, dan lain-lain. Penggunaan bahasa Indonesia oleh penutur bahasa Gayo (selain yang telah disebutkan di atas) disebabkan: pertama, kurangnya kesadaran berbahasa Gayo dari penutur bahasa Gayo sendiri dalam menggunakan bahasa Gayo dalam kehidupan sehari-hari. Simpulan ini merupakan hasil penelitian penulis yang tajuk sikap berbahasa penutur bahasa Gayo, diadakan di Takengon, Juli 2008 yang lalu. Kedua, heterogenitas budaya dengan tingkat interaksi budaya yang tinggi. Dengan demikian, bahasa Indonesia dipakai sebagai alat komunikasi oleh lebih dari delapan etnik yang mendiami kedua daerah tadi (Takengon dan Bener Meriah). Ketiga, bahasa Gayo tidak diajarkan secara informal dan formal baik di keluarga, masyarakat maupun lembaga pendidikan; mulai dari pendidikan rendah, pendidikan lanjutan, pendidikan menengah sampai dengan pendidikan tinggi.
Keempat, tidak adanya sebuah model berbahasa Gayo dari berbagai titik (daerah) tadi. Dengan kata lain, tidak terciptanya lingkungan berbahasa Gayo yang dapat dijadikan model bagi daerah atau tempat lain. Bahkan, gejala pemakaian bahasa Indonesia bukan hanya seputar kota, melainkan sampai ke kampung-kampung. Di kota atau yang berdekatan dengan kota, juga kerap terjadi gejala campur kode (code mixing) dan alih kode (code switching). Campur kode yaitu masuknya serpihan kata-kata, frasa dan kalimat bahasa lain ke dalam bahasa Gayo saat peristiwa tutur terjadi (berbahasa). Unsur yang paling banyak masuk tentunya bahasa Indonesia. Alih kode sendiri merupakan peralihan dari bahasa yang satu ke bahasa lain dikarenakan faktor tertentu. Misalnya, ada penutur yang bukan orang Gayo dalam sebuah peristiwa tutur, maka percakapan pun tersebut beralih ke bahasa Indonesia untuk menghormati dan menghargai penutur yang bukan orang Gayo (al-Gayoni, 2006: 24-40)
Kelima, kurangnya kebijakan (language policy) dan perencanaan bahasa (language planning) dari pemerintah kabupaten di kedua daerah tadi. Buktinya, secara formal, bahasa Gayo tidak disertakan dalam muatan lokal pada berbagai strata pendidikan tadi. Kalau pun diajarkan, baru menyentuh pendidikan dasar dan pendidikan menengah dengan jam ditambah pertemuan yang cukup terbatas. Padahal, jaminan pengajaran bahasa daerah telah dimuat dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh Bab XXXI pasal 221 ayat (4) Bahasa daerah diajarkan dalam pendidikan sekolah sebagai muatan lokal dan ayat (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewenangan pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan qanun. Namun, dalam implementasinya, pelaksanaan undang-undang ini masih sangat lemah termasuk di dalamnya pengawasan dan evaluasi yang berkelanjutan. Keenam, penelitian dan pensosialisasian bahasa Gayo secara ilmiah serta pendokumentasiannya masih sangat kecil dibanding daerah lain di Indonesia. Sebagai akibatnya, kita akan mengalami kesulitan dalam mencari rujukan (referensi) ilmiah tentang bahasa Gayo atau yang terkait dengan daerah serta suku ini.
Di Gayo Lues sendiri, dalam pengamatan penulis (8-13 April 2009), penutur bahasa Gayo di daerah ini lebih memilih menggunakan bahasa Gayo dari bahasa Indonesia. Barangkali, salah satu penyebabnya adalah mayoritas penduduk di daerah ini didiami orang Gayo. Secara umum, kesadaran berbahasa Gayo (language awareness) di daerah ini lebih baik. Untuk bahasa Gayo di titik persebaran lainnya; Lokop/Serbejadi (Aceh Timur), Kalul/Pulo Tige (Aceh Taming), Gayo Alas (Kotacane) dan di Betung (Nagan Raya), penulis belum mengamati dan meneliti langsung keadaan bahasa Gayo di daerah tersebut. Namun, belajar dari dua kabupaten tadi dan seiring dengan perkembangan yang terjadi (terutama ilmu pengetahuan, informasi, teknologi dan globalisasi), maka pemerintah kabupaten Gayo Lues perlu dengan segera membuat kebijakan (language policy) dan merencanakan perencanaan bahasa (language policy) sebagai bagian dari politik berbahasa (language politic) di daerah. Kedua hal tersebut dituangkan terutama dalam pengajaran bahasa Gayo sebagai materi muatan lokal dari pendidikan rendah sampai pendidikan tinggi.
Selain hal di atas, sampai hari ini, penulis belum menemukan aksara bahasa Gayo (kalau pun ada). Tradisi menulis dan jumlah penulis juga masih terbatas. Kebanyakan budaya Gayo juga disampaikan melalui tradisi lisan. Itu pun tidak disampaikan secara lengkap mengingat rentang waktu yang sudah cukup jauh ke belakang. Permasalahan lain, pelaku budaya Gayo atau yang paham akan bahasa sudah tidak lagi produktif dikarenakan usia lanjut dan jumlahnya yang tinggal hitungan jari tanpa ada regenerasi. Dengan begitu, bahasa klasik Gayo dan warisan leluhur akan hilang seiring dengan pergantian waktu dikarenakan perginya pelaku budaya tadi satu per satu (dalam hal ini, ahli/yang paham tentang bahasa Gayo).
Untuk memartabatkan bahasa Gayo, paling tidak, diperlukan empat pola yaitu pola pikir, pola sikap, pola tutur, dan pola tindak. Pola pikir (mind set, paradigm of thinking/way of thinking) diwujudkan dengan kesadaran berbahasa Gayo termasuk segala konsep, perencanaan, kebijakan dan politik berbahasa. Pola sikap (language attitude), menyangkut sikap (attitude) penutur bahasa ini menyangkut pemakaian bahasa Gayo. Pola sikap merupakan hasil pola pikir. Pola tutur (language use) dikaitkan dengan penggunaan yang meluas dari bahasa Gayo dalam pelbagai peristiwa tutur di masyarakat. Pola tindak (language act) merupakan akumulasi ketiga pola yang diwujudkan dengan pemeraktekan berbahasa, membuat model bahasa (lingkungan berbahasa Gayo yang ideal) dan pemertahanan serta pelestarian bahasa Gayo. Sekiranya penutur bahasa Gayo sudah jauh dari empat pola di atas (meninggalkan bahasa Gayo), maka akan hilanglah bahasa Gayo itu. Kalau bahasa Gayo hilang, maka hilang pula-lah orang Gayo sebagai sebuah bangsa. Dikarenakan bahasa Gayo merupakan identitas terakhir orang Gayo sendiri (lebih lanjut baca Bahasa Gayo: Sejarah, Perkembangan & Identitas Akhir Orang Gayo http://yusradiusmanalgayoni.blogspot.com)
*Majalah Lentayon Edisi VIII Thn III 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar