Jumat, 12 Juni 2009

Menyelamatkan Suhuf-Suhuf Yang Tersebar

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*


Tanoh Gayo (Takengon/Aceh Tengah, Serbejadi/Aceh Timur, Pulo Tige/Aceh Tamiang, Kotacane/Aceh Tenggara, Belang Kejeren/Gayo Lues&Betung/Nagan Raya) memang negeri penuh misteri (negeri penuh misteri istilah penulis). Banyak istilah yang dilekatkan pada negeri ini seperti negeri di atas awan (Transtv), Swiss-nya Indonesia (wisatawan mancanegara), kepingan surga yang lolos seleksi (wisatawan mancanegara), dan lain-lain. Banyak misteri yang belum terkuak. Negeri ini menyimpan banyak misteri mulai dari mistis (dowa), kandungan, kekayaan dan keindahan alam, bahasa, sejarah, adat istiadat, budaya, dan warisan leluhur lainnya. Sayang, banyak hal yang masih belum tergali ke permukaan. Seolah dinginnya tanoh Gayo, membenamkan penggalian tersebut. Menjadikan masyarakatnya “tidur,” tidak bervisi jauh ke depan (gere be kekire naru, asal lepas mangan, gere mukunah kereleken dan genap tingen lang). Bahkan, ‘anak negeri’ (penduduk) dan tanoh Gayo jarang terpublikasi. Ini tidak terlepas dari karakter urang Gayo (bangsa), yang jarang dan tidak mau dipublikasi. Alhasil, riwayat pelaku dan sejarah daerah ini pun hilang seiring dengan kepergian pelakunya dan pergantian waktu.
Selain itu, pendokumentasian secara tertulis masih terbatas. Sangat sulit menemukan referensi mengenai suku dan daerah ini. Karena tradisi, kemampuan dan kemauan untuk menulis ditambah penulis masih kurang. Kalaupun ada rujukan atau penulis, jumlahnya masih sedikit. Itu pun tidak ada lingkungan menulis dan regenerasi penulis yang berkesinambungan. Padahal, dokumentasi tertulis tadi menjadi semacam kewajiban terlebih lagi di era perkampungan global (globalisasi) saat ini. Orang Gayo lebih mengandalkan ingatan dalam mengingat kejadian masa lalu. Kejadian-kejadian tersebut direkam dengan menggunakan ingatan. Salah satunya dimanifestasikan melalui didong. Didong adalah salah satu sastra lisan yang masih bertahan di Indonesia, selain wor, bagi masyarakat Biak di Irian Jaya (Simbolon, 1999: 86&88). Sayangnya, banyaknya cuplikan didong yang tidak di tulis dan di rekam. Karena salah satu sifat didong waktu itu ada didong berwajib (tahun 1940-an). Didong jenis ini mengutamakan karya yang lahir orisinil (bukan jiplakan), spontan di atas panggung yang sarat dengan nilai-nilai filosofis dan sastra yang tinggi. Kesenian tradisional yang tua ini berkembang mulai sejak tahun 1937 sampai sekarang (baca Thantawi “Didong dan Perkembangannya”). Dapat dikalkulasikan berapa banyak ceh (vokalis), apit (pendamping) dan karya-karya yang lahir? Dikarenakan kelemahan dokumentasi tadi, rangkaian sejarah kembali terkubur saat pelakunya pergi satu per satu menghadap pencipta-Nya. Transmisi budaya dan pengalaman juga lebih banyak dilakukan secara lisan. Misalnya, melalui bentuk sastra lisan Gayo lainnya. Orang Gayo sendiri memiliki sepuluh sastra lisan Gayo (selanyutmya, baca Melatatoa, L.K. Ara, dan al-Gayoni). Salah satunya adalah kekeberen. Kekeberen (dongeng sebelum tidur) menjadi menu utama sebelum tidur bagi anak-anak tempo dulu (terutama pra tahun 1980-an). Untuk saat ini, pelaku kekeberen tinggal hitungan jari. Disamping sudah tua, sudah usia lanjut “ujur”, tidak adanya regenerasi dan proses pembelajaran kekeberen, tidak ada pola (model) dan lingkungan kekeberen, sastra lisan ini juga sudah dikalahkan perkembangan teknologi, misal radio, televisi dan telepon seluler (cellular phone).
Ke depannya, apa pun yang menyangkut suku (Gayo) dan daerah ini (tanoh Gayo) yang bermula dari kekeberen, akan berakhir pula menjadi kekeberen. Walaupun, kekeberen tadi mengandung validitas, otentisitas dan nilai-nilai kebenaran. Begitu juga dengan bahasa, bahasa Gayo nantinya akan punah di tengah perkembangan ilmu pengetahuan, informasi, teknologi & perkampungan global (globalisasi). Penulis pernah mengatakan (tahun 2006), bahasa ini akan punah dalam kurun waktu 50 tahun mendatang (baca Harian Serambi Indonesia 10/07/2006). Hal ini di dukung lagi dengan karakter suku ini yang terbuka, toleran, dinamis dan akomodatif. Lebih-lebih dengan heterogenitas budaya dan tingginya interaksi budaya yang ada di tanoh Gayo. Perlahan dan pada akhirnya, akan terjadi seleksi budaya (selektifitas budaya); budaya yang datang dengan budaya tempatan. Yang menang akan bertahan. Kebalikannya, yang kalah akan hilang. Sama halnya dengan bahasa, akan terjadi evolusi bahasa. Pelan-pelan, akan hilang. Gejala yang paling nyata adalah gejala campur kode (mixing code) dan alih kode (code switching) kerap mewarnai percakapan suku ini (al-Gayoni, 2006: 24-40, 2009). Ditambah lagi kurangnya kesadaran masyarakat ini dalam berbahasa Gayo. Bahasa Gayo sudah mulai ditinggalkan. Dua poin ini merupakan beberapa hasil penelitian penulis yang bertajuk sikap berbahasa penutur bahasa Gayo yang diadakan di Takengon, Juli 2008 (lebih lanjut, baca majalah Lentayon Edisi VIII/Juni Thn III 2009/majalah pemkab Gayo Lues atau di blog penulis).
Pemerintah daerah juga tidak mempunyai politik (language politic), kebijakan (language policy) dan perencanaan bahasa (language planning). Juga kebijakan lain yang menyangkut dengan identitas diri (suku dan kebudayaan Gayo). Padahal, terutama jaminan pengajaran bahasa daerah telah dimuat dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh Bab XXXI pasal 221 ayat (4) Bahasa daerah diajarkan dalam pendidikan sekolah sebagai muatan lokal dan ayat (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewenangan pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Qanun. Akan tetapi, dalam implementasinya, pelaksanaan undang-undang ini masih sangat lemah termasuk di dalamnya pengawasan dan evaluasi yang berkelanjutan. Lebih parah lagi, “kemauan” dari Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah termasuk “kabupaten serumpun lainnya” lain suku ini masih kurang. Pemerintah Daerah seperti “kehilangan akal” dan “miskin konsep”. Padahal, rata-rata pejabat di daerah ini (Takengon) sudah magister terutama “magister manajemen.” Tentu, dengan gelar magister manajemen yang melekat, kita tidak meragukan lagi kualitas dan kemampuan mereka prihal konsep dan penyusunan perencanaan-perencanaan terutama dalam pembangunan non-fisik yang berkepanjangan dan berkelanjutan.
Kalau pun ada pengajaran dan pembelajaran bahasa Gayo, implementasinya masih berjalan pada pendidikan dasar dan menengah. Itu pun dengan jumlah pertemuan dan jam pengajaran bahasa daerah yang terbatas. Belum lagi persoalan kurikulum, silabus, materi dan tenaga pengajar yang tidak memenuhi syarat (tidak memenuhi kualifikasi, namun tetap saja dipaksakan). Melihat hal di atas ditambah persoalan-persoalan belakangan, semakin membuat pemerintah kabupaten semakin tidak “bernapsu” untuk merumuskan dan merealisasikan program ini (pembangunan, penggalian, penyelematan, pendokumentasian dan pelestarian warisan leluhur dan kekayaan budaya lainnya). Karena tidak menghasilkan manfaat langsung, tidak menghasilkan uang “proyek-proyek yang dapat dibagikan terutama kepada “orang-orang dekat” misalnya saja “tim sukses” dan kemungkinan tidak ada manfaat jangka panjang yang dirasakan. Berbeda dengan pembangun fisik, gedung, jalan, dan lain-lain. Akan ada bagi hasil (sharing profit) dari “yang memberi proyek” dan “yang diberi proyek” (“orang-orang dekat” dan “tim sukses tadi”). Proyek fisik ini menjadi semacam orientasi dan kiblat bagi “yang berkepentingan” di Takengon. Tanpa proyek, kontraktor, “orang-orang dekat” dan “tim sukses”, seakan mati, tidak bisa berkreasi dan hidup. Sayangnya, kualitas proyek tadi juga memprihatinkan. Di sana sini banyak kekurangan. Karena danananya juga banyak “dipotong,” “di bagi-bagi,” dan “balas budi.” Wajar bila kualitas proyek fisik tadi rendah dan tidak sesuai dengan dokumen kontrak yang ada. Celakanya lagi, pengawasan dan evaluasi juga kurang. Bila ada monitoring dan evaluasi, tentu hanya sekedar formalitas, simbol dan “ecek-ecek” karena dikerjakan “orang-orang dekat” tadi
Seperti yang disebutkan sebelumnya, negeri ini mengandung banyak misteri. Katakanlah, untuk kandungan alam, kekayaan dan keindahan alam. Negeri ini mengandung kekayaan alam yang luar biasa seperti seperti kopi, tembakau, teh, ganja, emas, uranium, batu bara, dan lain-lain. Lebih dari itu, keindahan wajah (baca potensi wisata) negeri ini akan memikat siapa pun yang datang dan menginjakkan kakinya di negeri ini. sayangnya, kekayaan, tidak bisa dikelola dengan baik, partisipatif, profesional, ramah lingkungan, dengan penguatan kearifan lokal (local wisdom), terukur dengan target yang jelas, maksimal dan berkelanjutan (sustainability) oleh pemerintah kabupaten. Padahal, disamping keindahan alam, daerah ini memiliki penarik wisata lainnya seperti sejarah fisik, budaya, wisata kuliner, dan lain-lain (selain kekayaan alam). Tapi, penarik wisata tadi tidak berarti. Indikator keberhasilan wisata juga masih belum jelas (pencapaian-pencapaian pemerintah). Pemerintah daerah miskin konsep (gere be kekire naru). Secara umum, “kita” kehilangan daya rasa, cipta dan karsa. Dari sisi sumber daya manusia (human resources), boleh dibilang, pemkab Aceh Tengah sudah memiliki “sumber daya yang memungkinkan” rata-rata magister manajemen. Ironisnya, tidak banyak yang berubah dari negeri ini. Sebaliknya, anggaran “habis begitu” saja dengan “rumusan program dan kebijakan yang tidak berkelanjutan,” “pengimplementasian proyek-proyek yang tidak jelas kebermanfaat dan keberlanjutannya.”
Sekiranya, semua penarik dan potensi tadi (salah satunya pariwisata) dimaksimalkan dengan baik, terarah, terukur dan maksimal, dengan mudah dan cepat akan dapat meningkatkan pendapatan per kapita penduduk. Selanjutnya, meningkatkan pendapatan asli daerah tanpa harus “menjual aset yang lain.” Pada akhirnya, akan meningkatkan nahwa dan marwah tanoh tembuni (harkat, marwah dan martabat tanoh tembuni). Padahal, secara sederhana, bila ada orang yang menginjakkan kakinya ke negeri ini. Mereka akan melihat, menikmati, membeli sesuatu untuk dimakan dan diminum. Kita tidak usah mengkaji secara menyeluruh, detail dan mendalam dampak kedatangan wisatawan tadi. Pada akhirnya, masukan dan konsep tadi akan memusingkan “kita” karena “kurangnya dan miskinnya kemauan” dari perencana, pengambil dan pelaksana kebijakan di daerah ini. Tentu, yang datang tadi (wisatawan) akan menambah pendapatan (uang masuk) bagi masyarakat sekitar melaui barang yang dibeli, dimakan dan diminum. Sebagai gantinya, mereka akan menuntut pelayan lebih serta meninggalkan sesuatu di tanoh Gayo. Bisa bersifat abstrak seperti pola pikir, sikap, pola tindak yang positif dan sebaliknya. Dapat pula bersifat konkret, dalam bentuk fisik misalnya termasuk meninggalkan “kotoran mereka” di tanoh Gayo.
Masih berkenaan dengan pengembangan pariwisata di negeri Adi Genali ini. Di daerah ini, bisa diwujudkan multiwisata sekaligus. Artinya, menjadikan daerah ini berbagai tujuan wisata pada saat yang bersamaan. Misalnya wisata alam, wisata budaya, wisata sejarah, wisata agama (islami), wisata pertanian, wisata kehutanan, dan lain-lain. Sekali lagi, penulis tidak akan menyinggung istilah teknis. Dikhawatirkan akan memusingkan kepala “kita” dan tidak berarti terutama bagi “pihak-pihak terkait.” Hanya sebatas konsep yang tidak berarti “menjadi tumpukan sampah.” Di daerah ini (dalam hal ini, Takengon), cenderung berkembang konsep “ulen aku mangan powa” dari petinggi-petinggi lokal yang ada.
Untuk wisata sejarah contohnya, daerah ini memiliki kerajaan Linge dengan Adi Genali sebagai raja pertamanya. Kerajaan ini telah melahirkan raja-raja di pesisir Aceh seperti Johansyah (sultan pertama Aceh) dan sultan-sultan lainnya, Malikussaleh (kemungkinan besar juga berasal dari tanoh Gayo/keturunan raja Linge) dan Sultan Iskandar Muda (menurut Erah Linge/pengumpul peninggalan kerajaan Linge). Kerajaan ini terlibat pula dalam penyebaran budaya, membangun peradaban dan Islam di Aceh bahkan di nusantara melalui keturunan-keturunan raja-raja Linge. Selain itu, daerah ini (tanoh Gayo) memiliki bukti pendukung arkeologis (kehidupan prasejarah). Bukti kehidupan prasejarah tersebut dikuatkan dengan penemuan abris sousroche (rock shelter) di Loyang Mendale oleh arkeolog dari Balai Arkeologi Medan. Di lapisan tersebut tersimpan benda yang disebut ”sampah” peninggalan aktivitas manusia prasejarah berupa sisa arang pembakaran, tembikar (gerabah), tulang-belulang hewan dan manusia, cangkang mulosca (keong dan siput) dan yang paling mengejutkan berupa kapak persegi yang telah berusia 2500 tahun dari bebatuan andesit. Dapat disimpulkan bahwa pernah ada kehidupan di Medale pada masa neolitik (sekitar 3500 tahun yang lalu) (diakses dari www.gayolinge.com 11/06/2009). Hal di atas, merupakan salah satu penarik wisata sejarah di Takengon selain kerajaan-kerajaan lain seperti kerajaan Islam Linge, Kerajaan Bukit, Kerajaan Cik, Kerajaan Syiah Utama dan situs-situs sejarah lainnya untuk menjadikan Takengon daerah multiwisata yang berbasis dunia “Takengon: Toward World Tourism Destination” (baca tulisan tersebut di blog penulis). Konsekuensinya, keberadaan ceruk Mendale, Putri Pukes, Loyang Koro dan Loyang Datu dan situs-situs sejarah lainnya (salah satu jenis wisata yang dikembangkan) akan mendatangkan peneliti dan wisatawan untuk melihat dan mengetahui secara dekat tentang Gayo. Pada akhirnya, kedatangan mereka akan menambah pendapatan per kapita penduduk dan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
Tapi sayang, niat, kemauan dan kerja keras dari tim Balai Arkeologi Medan tadi “kurang dihargai” tidak disikapi dengan langkah-langkah cepat, taktis dan maksimal dalam membuka tabir gelap sejarah suku ini (Gayo). Misalnya, dalam dukungan anggaran keberlanjutan penelitian sampai sejarah suku ini terkuak dari sisi arkeologis. Sepatunya, pemerintah dan masyarakat di daerah ini berterima kasih dan menghargai upaya tersebut. Bagaimana pun, temuan yang telah dihasilkan, merupakan kemajuan besar berkaitan dengan identitas suku dan daerah ini (Gayo dan tanoh Gayo). Ironisnya, situs-situs tadi, jangankan untuk keberlanjutan penelitian, bahkan cenderung tidak dirawat dan dilindungi, sebaliknya ceruk Mendale tidak terawat bahkan dirusak dengan bulldozer. Tanah dari lokasi ceruk Mendale dikeruk untuk dijadikan tanah timbunan. Dari bagian tanah ceruk yang dikeruk tersebut, tampak kepingan gerabah yang diduga bagian dari sejarah purbakala di dataran tinggi tanoh Gayo (diakses dari www.gayolinge.com 11/06/2009). Padahal, temuan tersebut (yang telah berusia 3500) merupakan bukti keberadaan awal suku Gayo di Aceh. Bahkan, sejarah Indonesia perlu dan harus direposisi seperti yang pernah diungkapkan Ketut Wiradnyana, pemimpin penggalian arkeologi. Pada akhirnya, akan bermanfaat dalam hal pawisata sejarah yang penulis dimaksud.
Penulis melihat keseriusan pemerintah daerah menyangkut sejarah masih kurang. Boleh dibilang, “miskin” visi dan misi kesejarahan. Begitu juga, dalam hal penyelamatan bahasa, seni, adat istiadat dan sastera (budaya secara umum) bahkan tidak ada “penghargaan” terhadap tokoh-tokoh yang telah membesarkan nama Gayo. Terkait dengan ceruk Mendale, political will dari pemerintah masih rendah dan setengah hati. Buktinya, ceruk Mendale kurang dilindungi dan diselamatkan (sampai-sampai di bulldozer/baca Situs Sejarah Ceruk Mendale Ditelantarkan di www.gayolinge.com, diakses 11/06/2009). Belum lagi, mengumpulkan “suhuf-suhuf sejarah” yang masih tersebar mulai suku Gayo mendiami Aceh pertama kali, terbentuk kerajaan Linge, penyebaran keturunan Linge ke pesisir dan lain-lain sampai sejarah kontemporer (dewasa ini). Tentu semakin jauh dari harapan. Bukti sejarah yang ada saja diberangus. Bagaimana dengan yang lain? (baca Peringatan Hari Pahlawan: Sebuah Catatan di blog penulis)
Kita (daerah Gayo) sendiri (mungkin) belum memiliki arkeolog. Secara umum, sumber daya kita memang masih sangat terbatas. Terkecuali, untuk manajemen terutama yang magister manajemen (MM) lebih-lebih yang duduk di pemerintah kabupaten Aceh Tengah. Kalau pun tidak lebih, boleh dibilang cukup dan “mampu” menata Takengon. Tambahan lagi, tanoh Gayo, juga baru terbuka dari dunia luar (sejak dibukanya jalan Takengon-Biren). Secara formal, orang Gayo yang menikmati pendidikan formal baru tahun 1905 yaitu tengku Raja Maun (menjadi Beusterder van Bukit atau Landehap van Bukit tanggal 18 Mei 1910. “Pang-pang pendidikan/perantau-perantau” dari daerah ini juga baru “bermigrasi” ke luar tanoh Gayo sekitar tahun 1911-an. Selanjutnya, lembaga pendidikan formal baru terbentuk pada 89 tahunan yang lalu. SD (1920-an), SMP/SLTP Negeri 1 Takengon (1946), SMA/SMA Negeri 1 Takengon sekarang (1957) dan pendidikan tinggi/Sekolah Tinggi Gajah Putih (1986). Dapat dibayangkan, betapa tertinggalnya daerah ini. Namun, disayangkan lagi, tidak ada upaya percepatan dari pemerintah kabupaten untuk mengejar ketertinggalan tadi lebih-lebih untuk persoalan pendidikan.
Sumber daya yang ada cenderung pada satu bidang yaitu di keguruan atau menjadi guru. Begitulah mind set, arah dan kecenderungan ketika itu. Tidak bisa disalahkan karena tidak ada arahan, target dan visi jangka panjang yang membangun dari perencana dan pelaksana pembangunan. Sudah barang tentu, sumber daya manusia tadi tidak menyebar. Tidak dan kurang menjadi ahli di bidang yang ditekuninya, putus kuliah, bahkan tidak bersekolah/kuliah karena tidak ada biaya, tidak ada regenerasi dengan kaderasasi yang keropos. Kaderisasi urang Gayo cukup keropos. Kaderisasi dan regenerasi (khususnya) yang berjalan tidak ubahnya seperti kacang si gere be deren, hidup, tumbuh, berkembang dan mati secara alamiah tanpa adanya pembinaan yang sungguh-sungguh. Pun, kalo ada anak negeri; negeri Linge, yang sukses di luar, kondisinya tak ubahnya seperti petukel, yang akarnya di tanoh Gayo, sementara buahnya di negeri lain tanpa ada koordinasi, komunikasi dan kerjasama ke arah peningkatan marwah ni tanoh tembuni (al-Gayoni dalam prakata buku Tujuh Tahun IMTA-Sumut 2001-2008).
Kekurangan sumber daya manusia tersebut, kembali karena kurangnya dukungan dari pemerintah kabupaten terutama dalam bentuk anggaran. Dikarenakan pemerintah daerah merupakan perencana, pengambil keputusan dan pelaksana pembangunan termasuk pembangunan sumber daya manusia. Tidak menempatkan pendidikan sebagai prioritas. Pendidikan masih dipandang sebelah mata dan dijalankan setengah hati. Padahal, perbaikan politik, sosial, ekonomi, budaya dan keamanan daerah ini baru tertata dengan baik bila di dukung dengan sumber daya yang memadai. Secara singkat, dapat menghalau kemiskinan dan mendatangkan kemakmuran. Sebaliknya, sekiranya, ada bantuan pendidikan, biasanya informasinya sangat tertutup, dengan jumlah yang cukup kecil, dengan syarat dan kriteria yang tidak jelas. Pada akhirnya, kebijakan yang ada akan menuai persoalan. Penulis melihat (dari catatan-catatan yang ada), baru ada dua reje, bupati (dari 18 bupati) yang serius mengurusi sumber daya manusia dan pendidikan di Takengon yaitu alm. M. Beni Banta Cut, BA (bupati ke-11) dan Drs. H. Mustafa M. Tamy, M.M. (bupati ke-16/M.M. yang diperhitungkan).
Penulis berharap, pemerintah kabupaten Aceh Tengah menaruh perhatian yang serius terhadap penyelamatan rangkaian “suhuf-suhuf yang masih tersebar” tersebut. Kondisi ini tak ubahnya seperti masa Usman bin Afan saat mengumpulkan suhuf-suhuf al-Quran untuk dibubukan. Begitu juga dengan sejarah daerah dan suku ini, mengingat sejarawan dan pelaku budaya pakar yang kian terbatas. Ditambah lagi (seperti penulis sebutkan) masuk belum ada niat dan upaya yang sungguh-sunguh dari pemerintah daerah kabupaten Aceh Tengah untuk menghasilkan pakar (sumber daya manusia Gayo yang cerdik, lisik, bidik dan mersik). Jangan sampai mereka (sejarawan dan pelaku budaya) pergi dengan membawa serta rangkaian sejarah. Karena tidak ada upaya dokumentasi yang serius sebelumnya. Bagaimana pun, suhuf-suhuf sejarah tersebut merupakan rangkaian sejarah suku ini. Khususnya, yang berkenaan dengan identitas orang Gayo sendiri. Orang Gayo ada sekarang, tidak terlepas dari orang Gayo yang mendiami Aceh untuk pertama kali (sebelum masehi). Warisan fisik yang ada sekarang, merupakan buah karya dari pendahulu-pendahulu orang Gayo. Terjadi transmisi dan keberlanjutan sejarah pada orang Gayo yang ada sekarang. Begitu juga dengan warisan budaya fisik masa mendatang, merupakan buah karya dari generasi sekarang. Yang perlu di ingat, warisan yang ada saat ini merupakan titipan untuk diberikan pada generasi tanoh Gayo berikutnya. Jadi, tidak boleh “diberangus” “dijual” sesuka hati dengan kepentingan sesaat, sempit, pendek dan “lokal.” Tinggal, rayat, masyarakat terutama reje, pemerintah kabupaten, ditambah pemerintah kecamatan menghargainya dengan menyelamatkan warisan-warisan tersebut. Kalau yang warisan fisik ini saja tidak mampu diselamatkan, bagaimana pula dengan yang non-fisik? Kalau sudah demikian, maka, suku dan apa pun yang bertalian dengan suku ini tinggal menunggu hilang dan lenyap di tengah pergantian jarum jam sejarah. Ke depannya, Gayo yang memiliki perabadan yang tinggi, akan kembali dalam bentuk kekeberen seperti yang penulis sampaikan sebelumnya “Gayo kisah mu puren”. Referensi-referensi (rujukan-rujukan) yang ada juga akan menjadi rujukan klasik masa depan. Peninggalan leluhur tadi (warisan budaya fisik) akan hilang di makan waktu karena tidak ada tempat untuk menampungnya (Museum Nenggeri Gayo). Dikarenakan tidak ada upaya penggalian, pendokumentasian, penyelamatan dan pelestarian yang serius berkenaan dengan suku dan daerah ini terutama dari reje atau pemerintah daerah-nya .


*Pemerhati sejarah, bahasa, adat istiadat, masalah sosial kemasyarakatan, budaya Gayo dan Aceh. Blog: http://yusradiusmanalgayoni.blogspot.com, e-Mail: algayonie@yahoo.com, baca juga di www.gayolinge.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar