Senin, 01 Juni 2009

Munculnya Tutur Dalam Tindak Bertutur di Tanoh Gayo, Aceh

Oleh: Yusradi Usman Al-Gayoni*


Prof. DR. M. Junus Melalatoa dalam Kamus Bahasa Gayo – Indonesia, mendefinisikan tutur sebagai sebuah sistem atau istilah kekerabatan (1982:406). Sistem atau istilah kekerabatan ini berlaku pada masyarakat Gayo. Bertutur sendiri diartikan dengan penggunaan tutur, sistem atau istilah kekerabatan tadi. A.R. Hakim Aman Pinan dalam bukunya Hakekat Nilai-Nilai Budaya Gayo Aceh Tengah (1998), membagi tutur sebanyak 52 bentuk tutur. Selain itu, Mustafa Ak (Ketua Majelis Adat Aceh Nenggeri Gayo), membagi tutur menjadi 63 buah (Tabloid Ara News Edisi 01 Thn ke-1, Januari 2009)

Munculnya tutur ini disebabkan beberapa hal, pertama: adanya hubungan darah. Sebuah keluarga kecil yang terdiri dari bapak, ibu dan anak misalnya, dengan sendirinya, anak akan bertutur kepada kedua orang tuanya dengan panggilan ama (bapak) dan ine (ibu). Begitu juga halnya dengan anak-anak tadi, mereka akan memanggil abang atau bang dan aka atau ka kepada saudara mereka yang lebih tua baik laki-laki maupun perempuan. Yang lebih tua biasa menyebut saudaranya yang lebih muda dengan panggilan win (sebutan laki-laki) dan ipak (sebutan perempuan). Dapat juga digunakan nama yang bersangkutan, misalnya Salman, Udin, Aini, Kandar, Sadri, Adi, Irmawati, Lispidawati, Kas, Juriah, Lela, Dani, dan lain-lain. Pemakaian tutur tersebut dilihat dari tingkatan seseorang; atas (yang lebih tua), setara, bawah (yang lebih muda)

Tutur kam dipakai baik suami maupun istri. Kalau suaminya kelihatan beragama (alim), paham dengan penerapan nilai-nilai keagamaan, dapat dipanggil dengan tengku. Tutur kam ini maknanya cukup sopan dan santun dalam memanggil laki-laki dan perempuan. Kata kam juga bermakna jamak (yang melekat pada orang). Misalnya, mele kusi kam? ‘Mau kemana kalian?’ Kam dalam kalimat ini bermakna lebih dari satu orang.

Untuk keluarga yang lebih besar yang di dalamnya termasuk awan (kakek) dan anan (nenek), dengan sendirinya akan terjadi tutur baik dari atas ke bawah dan sebaliknya. Orang tua dari anak tadi tetap memanggil mereka dengan sebutan ama atau ine. Cucunya akan bertutur awan atau anan. Mereka sendiri (awan dan anan) akan memanggil anaknya dengan sebutan aman nuwin bila anaknya yang pertama laki-laki, dan inen nuwin, panggilan buat menantunya. Atau bisa juga memakai nama yang bersangkutan. Sebagai tambahan, dikatakan aman nipak karena anak yang pertama perempuan, untuk istrinya disebut inen nipak. Kepada cucunya, mereka panggil dengan win atau ipak (sesuai dengan jenis kelamin). Kalau mereka cukup dekat dan sayang kepada cucunya tadi, tak jarang mereka panggil kumpu atau kumpungku.

Kedua, tutur juga tercipta melalui perkawinan (Al-Gayoni, Harian Independen Aceh, 21 Desember 2008). Dalam istilah adat, istilah tadi dikenal dengan mas menatang ne, mas merenah ne (Mustafa Ak, budayawan Gayo). Dalam kaitan ini, unsur keluarga besar dari kedua dua belah pihak (bahasa Gayo: ume berume) akan menggunakan tutur menurut ketentuan yang sudah ada (sesuai dengan pembagian tutur di atas). Kedua besan akan bertutur dengan tutur ume. Untuk laki-laki disebut dengan ume rawan, sedang pihak perempuan disebut ume banan, begitu seterusnya dari atas ke bawah dan sebaliknya.

Ketiga, adanya belah turut menimbulkan tutur dalam masyarakat Gayo. Kata belah ini berasal dari bahasa arab ‘kabilah’ yang berarti kelompok (Mahmud Ibrahim). Dalam hal ini, yang muda akan bertutur atas kepada yang lebih tua. Misalnya, memanggil ama, ama kul, ama lah, ama ucak, dan lain-lain. Sebaliknya, yang tua akan menggunakan tutur renah (bertutur rendah) kepada yang lebih muda seperti panggilan win, ipak, aman mayak, inen mayak, panggilan nama, dan lain-lain. Keempat, nama tempat bisa menyebabkan terbentuknya tutur. Misalnya, adik laki-laki Lela (perempuan) tinggal di Medan, maka anaknya (misal: Putri) akan memanggil pun. Biasanya nama tempat tadi (Medan) akan mengikuti tutur pun, sehingga menjadi pun Medan.

Selain penyebab tutur di atas, Drs. M. Isa Umar, salah seorang ulama dan tokoh masyarakat Gayo, menambahkan bahwa munculnya tutur ini bisa dikarenakan beberapa hal, yaitu:

1. Perkelahian
Pada suatu hari, tejadi perkelahian antara dua orang lelaki. Lalu, penyelesaiannya ditempuh melalui pendekatan adat yaitu dengan cara kekeluargaan. Masing-masing keluarga dari kedua belah pihak pakat jeroh (musyawarah mencari penyelesaian yang baik dan bijak) dan bertemu satu sama lain. Pertemuan tersebut dapat digelar di rumah kepala kampung (kepala desa), imem (imam) atau di salah satu rumah dari kedua dua belah pihak. Alhasil, dicapailah kesepakatan damai. Pada akhirnya, kedua belah pihak menjadi satu keluarga (sebut atau ditetapkan menjadi sara ine sara ama) (lihat Ibrahim, 2002). Sebagai akibatnya, terjadi-lah tutur tadi. Salah satunya akan memanggil abang kepada yang lebih tua. Yang satunya lagi akan memanggil nama atau win kepada yang lebih muda.

Orang tua yang bersangkutan saling bertutur abang atau aka. Kerap terjadi, yang memiliki status sosial yang rendah akan bertutur atas kepada yang berstatus sosial yang lebih tinggi. Dikarenakan yang bersangkutan dihormati di mata masyarakat. Pun demikian, yang berstatus sosial tinggi tetap memanggil abang atau aka kepada pihak yang satunya lagi. Hal tersebut bertujuan agar tidak tercipta jarak di antara kedua belah pihak. Penggunaan tutur ini ‘abang atau aka’ tergantung pada lawan tutur dari penutur yang bersangkutan. Kepada bapak anak tadi, orang tua yang lain memanggil abang, sementara ibunya dipanggil aka.

2. Membantu seseorang
Sebagai contoh, pada saat merantau ke Belang Kejeren, kabupaten Gayo Lues, aman Rahmat telah banyak membantu Khairi (aman Putri). Karena telah dekat, tak ubahnya seperti keluarga sendiri, maka, Khairi pun lalu memanggil (bertutur) aman Rahmat dengan sebutan abang atau bang. Aman Rahmat sendiri menyapa Khairi dengan sebutan nama (disingkat Ri) atau aman Putri (anak sulungnya bernama Putri), seperti contoh-contoh sebelumnya. Kadangkala, juga disapa dengan ko atau kam (bahasa Indonesia: kamu). Tergantung dari tingkat atau umur pe-nutur tadi.

3. Mengadopsi anak
Bila ada yang mengadopsi anak, baik anak maupun orang tua pengadopsi akan bertutur seperti aturan-aturan yang sudah dijelaskan sebelumnya. Orang tua betutur renah (bentuk tutur kepada yang lebih muda). Sebaliknya, anak tadi betutur atas kepada kedua orang tua yang mengadopsinya.

Dengan demikian, munculnya tutur dalam tindak bertutur dalam masyarakat Gayo, Aceh, disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: hubungan darah, perkawinan, belah, nama tempat, perkelahian, membantu seseoranng dan mengaposi anak


* Majalah Lentayon Edisi VII Thn III 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar